Skip to main content

RÛHUL MUDARRIS


Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau, Abânâ KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi tawjihat sebelum amaliyatut tadris (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani.

Saat itu, beliau Abânâ dawuh: “Ath-Tharîqatu ahammu minal mâddah. Wal Mudarrisu ahammu minath tharîqah. Wa rûhul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelajaran (didaktik metodik) sampai sedemikian rupa. Dimaksudkan, agar secara preskriptif pesan yang begitu penting bisa sampai kepada peserta didik secara efektif, efisien, dan menyenangkan.

 Namun, bagi saya kalimat kedua dan ketiga dari beliau Abânâ,tidak kalah dasyat. Serasa keduanya menjadi potongan-potongan penyempurna indahnya suatu mozaik. Juz’un lâyutajazza’. Keduanya adalah bagian yang tidak boleh dipisahkan dari yang lainnya. Satu kesatuan prinsip pembelajaran yang mesti dipegang utuh oleh seorang calon guru. Yaitu, “guru itu lebih penting daripada metode mengajar”. Secanggih apapun model, strategi, metode dan media pembelajaran jika sang guru tidak terampil, kurang kompeten, atau tidak menguasainya tetap saja nothing. Mafi manfa’ah. Semua bergantung kepada skills kependidikan seorang guru. Dan ingatlah, “ruh seorang guru itu lebih penting dari diri guru itu sendiri” menunjukkan bahwa seterampil atau seprofesional apapun seorang guru dengan skills mengajarnya jika ia tidak memiliki ruh kependidikan, semuanya sia-sia. Semu semata. Bisa-bisa Jarkoni, iso ngajar ra iso ngelakoni. Tampak pintar tetapi tidak bisa memintarkan. Cerdas bagi dirinya tetapi tidak mampu mencerdaskan peserta didiknya.

 Dan bagi saya rûhul mudarris itu mungkin tercermin dalam spirit/jiwa keguruan yang mukhlish; shalih-mushlih; thahir-muthahhir; ‘alim-mu’allim; bajik-membajikkan, juang-memperjuangkan; gerak-menggerakkan; kreatif-mengkreatifkan; inovatif-menginovatifkan… wa Allâhu a’lam!

Salam ta’dzim buat Abânâ KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Semoga Allah SWT meridloi setiap amalnya dan menjadi jariyah hasanah baginya, amin.. washallû ‘alâ Muhammad! 

Joyosuko Metro-Malang, 24/09/2018

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...