Skip to main content

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)


Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang)

Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah learning by doing, experiential learning, dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip life-based learning di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “mas’ul” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz.

Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdengar seorang ibu wali santri memanggil-manggil saya: "Pak E.. Pak E.. tolong kemari" [Pak E adalah panggilan khas untuk karyawan pondok, tukang bersih-bersih atau tukang bangunan. Kalau Anda pernah tinggal di Saudi, panggilan itu sama dengan istilah: Shadiq).

Saya pun datang mendekati ibu itu seraya berkata: "Iya bu, ada yang bisa saya bantu?". 

Ibu tersebut langsung berkata: "Pak, tolong ini dbersihkan ya. Anak saya baru muntah-muntah."

"Baik bu, saya ambil timba dan kain pel dulu, ya," jawab saya seraya meminta ibu tersebut menunggu sebentar. 

Tak terlalu lama, sayapun datang dan langsung membersihkan muntahan putranya yang pada saat itu memang sedang sakit dan dirawat jalan di BKSM. Setelah selesai, ibu tersebut pun mungucapkan terima kasih kepada saya: "Pak E, Terima kasih banyak, ya".

"Ya bu, sama-sama. Semoga putra ibu segera sembuh dan bisa belajar lagi seperti semula".

Beberapa menit kemudian, saya mandi untuk persiapan mengajar. Usai mandi saya memakai pakaian full-dress (berjas dan berdasi) lalu menyempatkan sebentar untuk sholat sunah Dluha di kamar. Tak lama setelah itu saya keluar kamar dengan penampilan layaknya seorang ustadz PMDG dan melewati kamar yang putra ibu tadi dirawat. Pada waktu itu kebetulan ibu tersebut sedang duduk didepan kamar rawat putranya. 

Sepontan ibu tersebut berkata kepada saya: "Lho, bapak ini ustadz toh? Ustadz kok nggak bilang sih? Maaf, ya ustadz… Saya tidak sopan menyuruh ustadz. Saya bener bener gak tahu. Ustadz, sekali lagi saya minta maaf. Ternyata saya salah menyuruh orang....".

Ucapan maaf terus ibu itu lontarkan bercampur dengan rasa malu dan menyesal. 

"Nggak apa-apa bu, nggak ada yang perlu dimaafkan. Sehari-hari saya di BKSM ini. Itu kerjaan saya. Saya berpenampilan necis begini kalau mengajar saja. Kalau nggak ngajar ya memang layaknya pak E hehehe". Demikian saya cairkan suasana agar ibu tadi tidak terlalu kikuk, atau merasa tidak nyaman dengan saya.

Apa makna dari kisah saya ini? Silakan pembaca takwilkan sendiri. Namun yang jelas mengingatkan kita pada pelajaran Mahfudzat: likulli maqalin maqamun, wa likulli maqamin maqalun. Atau pepatah kita: lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Bahwa kita mesti pintar beradaptasi dengan setiap kondisi, dan selalu ikhlas bersiap menerima segala konsekwensi. Toh hidup ini hanya sekali. Putarannya kadang mendudukkan kita di posisi tinggi, kadang pula di posisi sejajar dengan kaki. Yang penting, pilihan kita tetap berorientasi pada yang ilahi, dan menebarkan kasih pada yang di bumi. Wallahu a’lam[]

 

*Kisah ini terjadi sekitar tahun 1990-1991 saat saya jadi pengurus (awal awal) BKSM bersama Ust. Yunus Abu Bakar (Jombang), Ust. Syamsudin Basyir (Pulung Ponorogo), Ust. Burhan (Gresik) dengan Perawat/Bidan Mbak Munawwaroh, Mbak Ervita, Bu Suroso, Mas Sutrisno, dan Mas Sugianto.

Comments

  1. Penyemangat, Allah menunjukkan betapa cepatnya seseorang yg derajat dibawah menjadi derajat lebih tinggi tanpa diminta... Learning by doing, better and better

    ReplyDelete
  2. Syukron ustadz...

    ReplyDelete
  3. Tulisan yang luar biasa menginspirasi dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan, terus menulis dan berbagi....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...