Skip to main content

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi.

Panggil Saya, Jréng!

Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “Pak Amien, njih?”

Injih. Njenengan sinten?” tanyaku sepontan.

“Jréng!” jawabnya.

Sinten?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya.

“Orang-orang memanggilku Jréng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jréng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda.

Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya. 

Wong Deso, Pekerja Keras

Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastikan aku belum pernah ketemu. Dan benar. Ia menjelaskan berasal dari kampung sebelah. Beda kecamatan. Kebetulan aku punya teman tinggal di sana. Kakak kelasku di pesantren dahulu. Dan ternyata. Ia mengenalnya. “Beliau mantan ketua RTku” ucapnya.  

“Lalu..” kataku penasaran, “kok tahu nama saya dari mana?”

“Andik” Jawabnya. Aku pun maklum. 

Aku buka toples dan wadah yang berisi kue lebaran. Tidak disentuh satupun. Hanya segelas air mineral yang sesekali diteguknya. “Maaf. Saya baru pulih dari Stroke. Jadi pilih-pilih makanan” katanya. Pantas saja. Jalannya pelan-pelan. Terkesan hati-hati. 

Belajar Mengaji

“Lalu, apa yang bisa saya bantu, Pak Jréng?” kataku sedikit kaku. Tepatnya kikuk. Belum terbiasa memanggil Jréng.

“Saya mau belajar mengaji” Jawabnya dengan bersemangat. Ia mengaku belum bisa membaca al-Qur’an. Belum pernah belajar. Karena sibuk mengais rejeki. Sebagai tukang bangunan. Bahkan sampai “mroyek” (ikut proyek bangunan) di luar kota. 

Selama ini. Katanya. Ia mencoba baca-baca sendiri. Tidak tahu benar atau salah. Ia mengaku ikut banyak jama’ah. Tahlilan. Yasinan. Dhiba’an. Manakiban. Shalawatan. Tetapi belum ia dapati di situ ada yang ngajarkan baca Qur’an. Singkat cerita. Kami menyepakati kontrak belajar: Setiap usai berjama’ah shalat Magrib di mushola, lanjut belajar mengaji. 

Sebelum berpisah, ia kuberi buku panduan belajar baca-Qur’an untuk pemula dewasa, yang pernah saya susun. Agar ia bawa setiap datang mengaji. 

Jadilah kegiatan ini berjalan sampai saat ini. Dan pesertanya jadi bertiga: Saya, Pak Andik (yang sudah dua tahun ini belajar mengaji bersamaku), dan Pak Jréng. Di tengah jalan, materi belajarnya juga bertambah: Baca Qur’an (drill, perorangan), dilanjutkan tafsir 1 ayat perhari (kolektif). Dan jrenggg! Jadilah TPQ. Ikut memakmurkan mushola at-Taubah. Walaupun dari Maghrib sampai Isya. Walaupun orangnya hanya bertiga. 

Belajar Menjadi Orang Besar

Pak Jréng kelihatan sekali rasa bahagianya. Ia pernah bilang: Sudah lama mencari orang yang mau ngajari mengaji. Dan baru kesampaian saat ini. Saking senangnya. Ia pernah membawakan buatku sekantong kresek besar kacang tanah. Hasil tanaman sendiri di belakang rumah.

Namun… Di luar pengetahuan Pak Jreng atau Pak Andik, kebahagiaan saya lebih membuncah lagi. Karena Mungkin. Lewat mereka berdua. Allah telah memberiku kesempatan untuk belajar menjadi “orang besar”. Ya, orang besar.

Orang Besar Menurut Gontor

Orang besar seperti yang dipesankan pendiri Ponpes. Gontor, Allahyarham KH. Imam Zarkasyi. Yang selalu diulang-ulang di hadapan santrinya. Untuk menjadi software. Mindset para alumninya.

Beliau pernah berkata: “Jadilah kalian orang besar. Orang besar bukanlah orang yang memiliki pangkat yang tinggi, harta yang melimpah, atau ilmu yang luas. Dikenal orang di mana-mana. Akan tetapi, ialah orang yang ikhlas mengajar ngaji walau di surau kecil di daerah terpencil.”

Atau.. di lain kesempatan beliau berujar: “Orang besar adalah orang yang mengajarkan agama di desa terpencil. Di surau kecil. Di balik sebuah bukit. Itu lebih besar daripada seorang pembesar di kota yang keadaannya hanya merugikan rakyat”.

Atau… dalam konteks yang Berbeda. Ketika itu ada seorang wartawan mewawancarai KH. Imam Zarkasyi dan menanyakan berapa jumlah alumni Gontor yang sudah menjadi orang besar. KH Imam Zarkasyi kemudian menjawab: "Siapa yang Anda maksud dengan orang besar? Orang besar bagi Gontor  adalah yang mau berjuang, meskipun di musala kecil di pelosok desa. Pahalanya Insya Allâh tidak kalah dengan presiden."

Bismillah… semoga kita semua bisa ikhlas serta istiqamah di jalan “orang besar”. Menuju Radhiyallâhu wa radlû ‘anhu (restu dan direstui oleh Allah). Lalu perhatikan kejutan yang terjadi. Apa itu? Jréng-jréng…[]

Joyosuko Metro, 15 Juli 2019

Comments

  1. Replies
    1. wallahu yubariku fik wa 'ailatik, insyaAllah

      Delete
  2. Dan Jreng! Inilah salah satu cerita Ustadz Amien yang sangat saya sukai. Sudah pernah saya baca tapi tetap aja seneng saya baca lagi. Mantap...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, semoga kita bisa saling menebar inspirasi dan manfaat kebaikan, amin

      Delete
  3. Pernah ketemu ustadz Amin pas bukber 10 tahunan silam.sampai skrg blm KTM lg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kah? masyaAllah, semoga Allah mempertemukan kita kembali dalam kebaikan amin...

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...