Skip to main content

PROFIL


SAIFUL AMIEN
[benramt; paknefayas], anak kedua dari enam bersaudara, lahir di kampung pesisir Karangagung-Palang Tuban, Jawa Timur tahun 1975. Dari keluarga sederhana: alm. H. Ramto Safran (workaholic & pendisiplin yang keras) dan Hj. Masita (ibu yang sabar & penyayang). Sekarang berdomisili di Malang bersama istri tercinta, Zulfatul Laila dan ketiga buah kasihnya: Nasr Mehdi Fayyaz, Tania Momtaza, dan Mehara Ervanea.

Proses petualangan belajarnya berpindah-pindah: Nyantri di Ar-Risalah Slahung Ponorogo (1987-1988) dan di Darussalam Gontor Ponorogo (1988-1993); belajar menjadi guru di Ponpes Nurul Hakim-Medan (1993-1994); S1 Tarbiyah, Unmuh. Malang (1994-1999); S2 Teknologi Pembelajaran, Univ. Negeri Malang (2008-2011); dan S3 Teknologi Pembelajaran, Univ. Negeri Malang (2017-2022).

Pernah belajar di PKPBA, STAIN Malang sebagai dosen kontrak (1999-2000); peserta Shortcourse on Islamic Studies di Markaz Johane Ulum Islame, Qum Iran (2007-2008); peserta Tadrib Mu'allimi al-Lughah al-Arabiyah,  Jami'ah Malik Saud, Riyadh (2008-2009); peserta Internasional Workshop on Islam & Biotechnology, Universiti Malaya, Malaysia (Juli 2009); peserta Seminar on Financial and Human Resource Development di Uppsala University, Swedia dan ngebolang di Norwegia (2016). Dan sampai hari ini, sedang belajar menfasilitasi pembelajaran, meneliti plus mengabdi di Persyarikatan Muhammadiyah khususnya di Fakultas Agama Islam - Universitas Muhammadiyah Malang (sejak 2000) dan Majelis Dikdasmen PDM kota Malang (2007-2016). 

Cita-citanya yang hingga sekarang terus dikejarnya adalah menjadi manusia pebelajar dan pengamal kebajikan ilahi.[]

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...