Dia yang omongannya ceplas-ceplos, kadang nyelekit bagi pendengarnya. Dia yang kurang bisa bersabar untuk berkomentar saat melihat sesuatu tidak pas di hatinya. Dia yang terkesan lebih banyak menggurui dalam berkomunikasi daripada mendengarkan. Dia yang banyak tetangganya enggan berinteraksi bersamanya… tiba-tiba datang dan memintaku untuk mendampinginya belajar membaca qur’an. Kaget bercampur gembira, saya langsung mengabulkan permintaannya. Dan, terbentuklah saat itu “kontrak belajar” dadakan untuk berupaya shalat magrib berjamaah di musholla setiap hari, dilanjutkan belajar mengaji.
Satu tahun sudah proses belajar itu berjalan. Terbukti dua Ramadhan terlewati sejak pertama kali dia menghiaskan kembali bunyi Hijaiyah di bibirnya. Terbata-bata dalam ejaan kala itu, kini ia mampu menyuarakan susunan huruf Hijaiyah dalam kata dan kalimat dengan irama panjang-pendek yang sesuai, walaupun makhrajnya masih “njawani”.
Dan tidak sekadar itu, yang menggembirakan adalah terlihat perubahan dhahir dalam prilaku ibadahnya. Ia bersemangat jamaah lima waktu di musholla. Dan lebih bersemangat lagi sepulang ia diminta ayah-ibunya untuk mendampingi keduanya umrah ke tanah suci sebulan yang lalu. Ghirrah spiritualnya tampak membuncah. Aura tanah haram terlihat cerah meliputi jasadnya. Pelbagai kegiatan sosial-keagamaan di kampung tak luput dari keikutsertaannya.
Dan, doaku semoga, ia (dan kita semua) diberkahi kemampuan untuk istiqamah, sabar dalam perubahan menjadi lebih baik. Memulai kebaikan, memang tidak mudah. Namun sabar dalam menjaga keberlanjutannya lebih terasa berat tantangannya. Semoga..
Joyosuko Metro, 05/01/2018.
Comments
Post a Comment