Abana KH. Hasan Abdullah Sahal pernah dawuh pada saat khutbatul Arsy: “Seindah-indah masa adalah masa menuntut ilmu, dan bersyukurlah karena kamu menuntut ilmu di Gontor”.
Ketika masih nyantri, saya tidak bisa memahami ujaran beliau ini, untuk tidak menyebut mengingkari. Bagaimana tidak? Hidup di “penjara suci” seperti ini, disebut indah. Semua serba diatur dalam disiplin tinggi: waktu, tugas dan tanggungjawab. Tiada kesempatan sedikitpun untuk berleha-leha. Dibenamkan dalam benak: ar-Râhah fil jannah. Selalu diulang-ulang seperti kaset ruwet: ar-Râhah fi tabâdulil a’mâl. Semua fasilitas hiburan amat dibatasi. Sekadar untuk bisa mencicipi semangkok dawet Jabung saja harus bersiasat tinggi. Mamnû’. Harôm. Ancamannya botak. Bahkan bisa angkat koper, mathrûd. Di mana letak indahnya? Seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan keindahan yang terang benderang dalam lirik lagu romantis saat itu: “Masa-masa paling indah, kisah kasih di sekolah”. Di Gontor adanya hanya kisah. Kasihnya entah kemana.
Namun, setelah tahun-tahun berlalu pasca perpisahan tengah Ramadhan 1413H itu. Di depan aula saling berangkulan itu. Sambil sesenggukan, berurai air mata itu. Air mata kegembiraan karena kan terbebas dari derita dimensi ruang dan waktu itu. Lalu bersama melek-pejam, suka-duka, bahagia-nestapa, jatuh-bangun, sebagai alumni menyusuri kehidupan. Seiring itu nalar mulai dipertimbangkan, makna mulai ditemukan dan kearifan mulai didengarkan. Samar-samar mulailah terasa indahnya masa lalu: saat-saat di Kampung Damai menuntut ilmu.
Indah, saat masih tertidur dalam antrian depan kamar mandi di subuh harinya. Indah, saat terkantuk hadir dalam dua rakaat shalat subuhnya. Indah, saat masih terkantuk-kantuk sambil berteriak mufrodât jadidahnya. Indah, saat membaca sambil berjalan cepat menuju dapurnya. Indah saat mengunya tewel bak sate terlezatnya. Indah, saat bibir kepedasan karena salathoh rôhahnya. Indah, saat ngegas menuju kelas atau masjid berbalapan dengan dentang jaros sakralnya. Indah, saat diberdirikan di kelas lain karena tidak hafal pelajarannya. Indah, saat menahan malu jadi pagar masjid karena terlambat berjamaah maghribnya. Indah, saat nama terpanggil menuju mahkamah bahasa atau keamanannya. Indah, saat berpetualang jadi jasus bahasanya. Indah, saat tertidur dengan Munjid sebagai bantalnya. Indah, saat tandzif berjamaah di kafetarianya. Indah, saat bersiasat untuk pura-pura sakit di kamarnya. Indah saat bertajamuk dengan mie migrofah dan qahwah cap hangernya. Indah, saat yahanu mahir pidato Arab-Inggris-Indonesia di muhadhorohnya. Indah, saat yahanu gagah berwibawa jadi raîs munadz-dzomahnya. Indah, saat yahanu galak dengan suara meledak, berdiri tegak di samping sepeda ontanya. Indah, saat yahanu mâhir olahraganya. Indah, saat yahanu masyghûl, yahanu musta’mal di berbagai kegiatannya. Indah, saat yahanu tabah tatkala wesel tak kunjung datang lebih dari tiga bulan lamanya. Indah, saat yahanu kuat menjadi proletar, ghoiru musta’mal dâiman, dan tidur di manapun adanya. Sungguh! Masih banyak lagi keindahan-keindahan itu. Yang tidak bisa saya lukiskan dalam ribuan kanvas sekalipun. Karena ia bersemayam di sini. Di dalam rasa subjektif ini.
Dan kesyukuran pun mulai kupanjatkan atas segala anugerah keindahan ini. Bagiku, Gontor adalah process of learning dan process of becoming yang ditakdirkan menjadi bagian dalam hidupku. Harapku, juga menjadi bagian dalam hidup semua anakku. Insyâ Allah..
Salam ta’dzim buat Abânâ KH. Hasan Abdullah Sahal. Semoga Allah SWT meridloi setiap amalnya dan menjadi jariyah hasanah baginya, âmîn.. Washalli ‘alâ Muhammad!
Joyosuko Metro-Malang, 25/09/2018
Comments
Post a Comment