Skip to main content

PAK ATUL


Sebagaimana kebanyakan alumni, kadang saya memanggilnya pak Atul atau ustadz Atul. Singkat dan egaliter tanpa mengurangi rasa ta’dzim kami kepada beliau sebagai shahibus samahah, yang dimuliakan karena ilmu dan nasabnya. Sebagian besar santri dan alumni Gontor yang pernah bersinggungan dengan beliau pasti mengenalnya sebagai “penjaga literasi Gontor”. Langsung maupun tidak, para penulis alumni Gontor angkatan tahun 1980an hingga 2000an pasti pernah mendapatkan sentuhan tangan beliau. Wabil khusus mereka yang berproses melalui wadah kepenulisan santri: ITQAN dan Darussalam Pos. 

Ketika saya masih nyantri, beliau pernah mengajar materi Bahasa Indonesia di kelas saya. Perjumpaan itu bisa disebut amat formal antara guru dan murid yang terkungkung dalam empat tembok pembatas kelas. Demikian pula saat saya terlibat dalam amanah keredaksian majalah ITQAN tahun 1993, juga tidak terjadi perjumpaan yang lebih intens dengan beliau. Mungkin karena di gedung Tunis lantai II itu saya hanya sekadar “tukang lay-out” dan “tukang gambar”. Belum ada ketertarikan sama sekali dengan dunia tulis-menulis walau sehari-sehari hidup bersama para santri penulis.   

Perjumpaan intens saya dengan beliau, bisa dikatakan belum lama. Mungkin sejak pertengahan tahun 2017, di saat beliau sudah lama harus rutin cuci-darah sepekan dua kali sedang saya harus rutin jenguk anak yang sedang nyantri di Gontor. Barangkali Allah mentaqdirkanku untuk ngangsuh kaweruhkembali kepada beliau di akhir usianya. Terlambat mungkin saya lebih mengenal beliau, namun perjumpaan yang singkat itu cukuplah bagiku untuk menjadi saksi tentang ketabahan dan keberserahan beliau dalam melakoni kehidupan, juga kebaikan dan ketulusan beliau dalam menghidup-hidupi tradisi literasi Gontor.

Awal mula perjumpaan kembali itu terjadi secara daring. Beliau memberikan apresiasi positif terhadap cerpenku “Gerbang” (https://benramt.web.id/2016/07/18/gerbang/) yang kuupload kembali di salah satu group WA yang beliau menjadi anggota di dalamnya. Sejak saat itulah saya memberanikan diri untuk menyapa beliau via WA dan sedikit berdiskusi terutama tentang pendidikan karakter ala Gontor yang dalam beberapa kesempatan beliau tuliskan secara panjang lebar di laman FBnya. Hingga pada 24 September 2017, bakda asyar saya bisa berkunjung ke rumah beliau yang sederhana di kompleks Buyut Makkah setelah membuat janji di hari sebelumnya. Di sinilah saya merasa langsung akrab dan serasa sudah kenal sangat dekat. Beliau banyak memberikan saran, masukan dan motivasi terkait draf proposal desertasi saya tentang pembentukan karakter di Gontor yang sebenarnya saya mantab mengambil topik itu karena banyak terinspirasi dari tulisan-tulisan ringan beliau di laman FBnya. Pada kesempatan ini beliau juga banyak bercerita terutama tentang bagaimana Allahyarham KH. Imam Zarkasyi mendidik anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari yang tentunya belum pernah saya tahu sebelumnya. Saya bahagia sekali bisa berbincang lama saat itu dengan beliau. Semakin bertambah mantab kiranya rencana riset desertasi saya tentang pendidikan karakter ala Gontor saat saya menyalami beliau ketika mohon udzur diri. 

Perjumpaan kami berikutnya terjadi secara daring saat beliau memberikan kritik dan masukan bagi cerpenku “Positif” (https://benramt.web.id/2018/01/08/positif/) yang saya upload kembali di Group WA awal Januari 2018. Dan pada kesempatan yang berbeda di pertengahan 2018 beliau sempat menanyakan via WA perkembangan proposal desertasi saya. Siapa kira itulah komunikasi terakhir kami. Ingin rasanya saya bisa berlama-lama nyantri kepada beliau, namun ternyata Allah lebih sayang kepada beliau untuk bersegera kembali kepada-Nya bersama hamba-hambaNya yang shalihin. Allahummarhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu..[] 

Tlogomas, 29/12/2018. 

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...