Skip to main content

DOA YANG MEREMEHKAN [1]

SUATU HARI DI AKHIR TAHUN 2008..

Di atas dipan busa kamar asrama, ia terkapar. Matanya berkaca-kaca, serasa tidak bisa menerima realita. Ingin rasanya ia menggugat namun terasa lemah tak berdaya. Bagaimana mungkin dalam sekejap namanya bisa hilang dari daftar mahasiswa baru yang berhak mendapatkan ijin dan fasilitasberhaji musim ini? Padahal beberapa pasang mata kawan-kawan mahasiswa senegerinya sebelum magrib tiba masih menjadi saksi kalau namanya ikut terpampang manis di papan pengumuman. Jam tangan menunjukkan angka 08.00 malam, dua jam lagi kafilah haji kampusnya akan diberangkatkan menuju tanah haram, Makkah Mukarramah, dan ia bisa dipastikan tidak menjadi bagian dari mereka. Ia merasa ada yang dengan sengaja mendhalimi haknya.

Ia berusaha memejamkan mata untuk menenangkan gejolak hatinya. Namun tetap saja tidak mampu mendamaikannya. Terbayang bagaimana lelah tubuh dan sakit hatinya, mengingat kemarin malam, seusai isya’ secara mendadak ia didatangi Abdul Wahab, si Afrika yang menjadi mahasiswa parttimer pengelola haji bagi mahasiswa asing di King Saud University-Riyadh. “Jika ingin berangkat haji besok malam” kata si Afrika, “kamu harus segera menfaks-kan iqamah ke nomor Idaratul Minah ini sebelum pukul 08.00 malam” sambil memberikan secarik kertas berisi deretan nomor. Ini berarti ia harus keluar dari asrama, menyewa taksi dan mencari warung telekomunikasi yang masih buka. Untung ada mahasiswa lama yang sudi mengantarnya. Beserta satu mahasiswa baru dari Philipina yang bernasib sama, bertiga mereka menyusuri jalanan kota Riyadh hingga menemukan Wartel dan berhasil mengirimkan copian iqamahnya. Segera ia menghubungi handphone Abdul Wahab untuk memastikan kalau pengiriman berhasil. Dengan menyakinkan si Afrika itu mengatakan, besok akan berangkat. 

Namun nyatanya, malam ini kepastian itu tidak hadir, padahal nama si Philipin tetap bertengger ada di papan pengumuman. Segera ia mencari si Afrika di kamarnya dan menanyakan perihal dirinya. Abdul Wahab dengan santai mengatakan tidak tahu dan bukan urusannya. Ia memberi nomor Mudir Idaratil Minah dan menyuruh menanyakan langsung ke beliau. Direktur kantor urusan beasiswa itu dihubungi berkali-kali, tidak diangkatnya. Hingga mendekati pukul 08.00 malam beliau mengangkat panggilan. Tetapi beliau pun menjawab tidak tahu menahu, karena urusan ini diserahkan sepenuhnya ke Abdul Wahab. Bertambah sakit hatinya, merasa nasibnya dipimpong ke sana ke mari. Segera si Afrika itu dihubungi berkali-kali, namun nada panggilan pun tidak berbunyi pertanda HP sengaja dinonaktifkan. Di cari di kamarnyapun, batang tubuhnya tidak ada, menghilang bagai ditelan gurun sahara. Semakin lelah hatinya. Ia mendongak ke atas, menatap langit-langit kamarnya. Merontah dan bertanya kepada Tuhan: ujian apa lagi yang hendak diberikan dalam catatan takdirnya? 

Tiba-tiba handphonenya berdering. Wahid, kawan senegerinya dari luar asrama memanggil dan menjawab pesan permintaan yang sempat ia kirimkan di tengah rasa putus asanya: “Pak Dul, Alhamdulillah… pak Kadir mengizinkan. Bapak bisa berangkat malam ini bersama travel kami”.
Alhamdulillah...” syukurnya di tengah ketidakpastian, “terus, saya bayar berapa mas?”
“Tidak usah pak. Bapak jadi muthawwif, pendamping jama’ah di bis terakhir”
“Tapi kan saya belum pernah berhaji, mas?”
“Ya, hanya mengajari dan menuntun jamaah kok, Pak... dalam membaca doa-doa sepanjang perjalanan saja sambil membantu jika mereka memerlukan pertolongan”
“Siap, mas!”
“Tapi..”
“Tapi apa, Mas?”
“Kemungkinannya di dalam bis tidak tersisa satu pun tempat duduk. Jadi, mohon maaf... kalau sepanjang Riyadh-Makkah Bapak akan berdiri...”
“Tidak apa-apa, Mas. Yang penting saya bisa memasuki Tanah Suci. Itu sudah cukup menyenangkan bagi saya” ucapnya sambil terbayang motivasi utamanya melamar beasiswa Tadrib Muallimil Lughah di King Saud University, yakni bisa pergi berhaji akan segera terwujud.
“Hallo, Pak..”  ucap suara Wahid dari jauh membuyarkan impiannya.
“Iya, Mas..”
“Tolong sekarang Bapak berkemas-kemas, 30 menit lagi kami jemput”
“Iya, Mas. Syukran, syukran ala kulli musa’adatik!” ujarnya, bersama setitik gembira terselip di antara duka.
Afwan” Jawab Wahid. 

Joyosuko Metro, 02/01/2019 (to be continued..)


Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...