Penulis: Hariman Muttaqin (Pengajar di Ponpes. Al-Iman Ponorogo)
Ada pengusaha keturunan yang baik hati. Dia non-muslim. Anggota keluarganya menganut keyakinan yang beragam. Istrinya Kristen, anak dan menantunya Katholik. Sementara dia sendiri tidak jelas.
Namun, dalam bermasyarakat ia sangat toleran. Baginya keyakinan apapun tidak masalah, yang penting baik sama orang. Jika mengantar istri ke gereja, dia lebih suka nongkrong di warung kopi. Ngobrol bareng sama makelar mobil, sesuai dengan hobinya: otomotif. Tapi kedermawanannya kepada sesama tidak perlu diragukan. Orang berimanpun kalah bahkan seorang kiai atau ustadz sekalipun. Tetangga yang kediamannya disita bank, dia izinkan menempati salah satu rumahnya. Gratis, tanpa sewa. Saya sendiri pernah melihat langsung kedermawanannya ketika dia membeli sendiri sarapan pagi untuk kakek yang tinggal di depan rumahnya.
Suatu hari saya ketemu teman di warung kopi. Dia seorang pengacara. Dia membuka pembicaraan tentang bisnis yang membawa berkah; tentang pengusaha steak yang mengikhlaskan sebagian pendapatannya untuk disedekahkan dan membiayai lembaga pendidikan. Sayapun menceritakan pengusaha keturunan yang dermawan di atas. Dia hanyatersenyum. Rupanya dia sudah mengenalnya.
"Bisnisnya banyak masalah" ujarnya, "Tidak jujur. Barang yang dijual palsu. Tinggal menunggu waktu aparat bertindak. Saya pernah menangani klien yang bermasalah dengan dia" Imbuhnya.
Mendengar kisahnya, saya jadi teringat Hatim ath-Thoyi, sastrawan yang terkenal dermawan di zaman jahiliah. Dia mati beberapa tahun setelah Muhammad Saw diangkat jadi utusan Allah. Selain dermawan dia juga gemar menjalin silaturahim. Saking dermawannya, muncul pepatah di kalangan Arab: “Lebih dermawan daripada Hatim” untuk menyebut orang yang baik hati. Sayang dia belum beriman. Berbeda dengan anaknya, Adi bin Hatim. Dia beriman begitu mendengar seruan Islam dan kemudian menjadi sahabat Nabi Saw yang terkenal dermawan seperti ayahnya.
Suatu saat, dia bertanya pada Nabi Saw perihal ayahnya. Apakah sang ayah dapat pahala dari kedermawanan dan kebaikannya itu. Nabi Saw menjawab, "Ayahmu dengan kebaikannya itu menginginkan sesuatu. Dan dia telah mendapatkannya." Artinya, semua kebaikannya sia-sia.
Hatim tidak ikhlas. Ada pamrih di setiap amalnya: keuntungan duniawi. Ciri khas orang orang yang tidak beriman. Wa Allahu a’lam![]
Ponorogo, 28 Januari 2019
Comments
Post a Comment