Skip to main content

MBAH MUKTI

Menjadi aktivis dakwah via Muhammadiyah, haruslah memiliki modal keihlasan ganda. Satu saja belumlah cukup. Pasti kecewa. Apalagi tanpa keduanya, bisa putus asa dan berbalik memusuhinya. Yang pertama, ikhlas, tanpa pamrih saat berdakwah di dalamnya. Dan kedua, ikhlas untuk tidak diingat setiap jasa yang pernah ditorehkan di dalamnya. Itulah milliu dakwah di gerakan besutan KH. Ahmad Dahlan ini. 

Adalah Mbah Mukti. Saya yakin orang-orang Muhammadiyah di kampungku tiada lagi yang mengenalnya atau sekadar mengingat namanya. Selain karena beliau sudah lama kembali ke haribaanNya, juga karena di masa tua hingga ajal mendatanginya beliau berpindah hunian di lain kecamatan mengikuti anaknya. Selama saya bersekolah atau mengaji di kompleks perguruan Muhammadiyah di kampungku, dengan deretan gedung madrasah dan masjid sebagai pusat dakwahnya, saya tidak pernah mendengar nama Mbak Mukti disebut dalam cerita para guru di madrasah atau sekadar dalam lirih-lirih motivasi hidup para pengajar ngaji di TPA. 

Saya seringkali mendengar nama beliau disebut oleh lisan ibuku ketika “menggatukkan” (mempertemukan) nasab saudara jauh yang hampir “kepaten obor” karena tiada pernah berjumpa. Ibuku seringkali menyebut nama Mbah Mukti dengan labeling “itu loh.. yang mewakafkan rumah dan tanahnya untuk masjid Muhammadiyah”. Mendengarnya saya hanya mengangguk-nganggukkan kepala saja. Bukan karena saya mengerti Mbah Mukti, tetapi lebih pada sekadar menyenangkan komunikator, yakni ibuku semata. 

Saya tidak pernah tahu siapa beliau, Mbah Mukti. Hanya dari lisan ibuku, ku dengar bahwa di saat zaman masih susah. Ketika haji harus ditempuh dengan kapal laut berbulan-bulan lamanya. Tatkala mereka yang masuk di jalan dakwah, haruslah memiliki supporting pengetahuan, kemauan dan modal kemampuan sosial-ekonomi yang besar… Mbah Mukti hadir dengan wakaf rumah, tanah, harta dan tenaganya untuk Islam wal muslimin. Di saat masjid dan kompleks madrasah berdiri serta aktivitas dakwah-kependidikan berjalan baik dengan deretan kader yang siap melanjutkan, beliau meninggalkan semua itu dengan ringan, tanpa beban sedikitpun. Bahkan namanya pun tiada pernah teringat lagi oleh generasi berikutnya. Barangkali beliau telah menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Maha Hidup Yang Tiada Pernah Lupa, sebagaimana kata “Tawakkal” yang tersuratkan menjadi nama masjidnya hingga hari ini. 

Bagaimana dengan kita, yang mengaku sebagai aktivis dakwah Muhammadiyah? Ujaran Mbah Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” akan terasa hanya indah di lisan, jika modal dua keikhlasan tersebut belumlah dimiliki. Wa ilallahi falyatawakkalil mutawakkilun[]    

Joyosuko Metro, 01/01/2019     

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...