Penulis: Syamsul Arifin (Guru Besar Sosiologi Agama, Fakultas Agama Islam UMM, dan Wakil Rektor I UMM)
“Pak Syamsul bangun mushalla ya?” Kawan saya, dekan pada salah satu fakultas di UMM, dugaan saya, mengetahui ihwal pembangunan mushalla dari Display Picture (DP) WhatsApp saya. Sejak September, tahun yang lalu, saya memang mengubah DP WhatsApp dengan poster pembangunan mushalla.
Di poster itu memang mengandung konten ajakan donasi untuk mendukung, lebih tepat disebut renovasi mushalla. Saya memang sengaja mengubah DP karena ingin melakukan “fund rising” dengan gaya yang disebut milenial, yakni menggunakan media sosial (medsos), kendati hanya via WhatsApp.
Pastilah beberapa kawan, kerabat, atau kenalan yang berjejaring dengan WhatsApp, iseng membuka DP lalu memberi komentar. Memang begitulah yang saya harapkan. Harapan saya berbuah seperti pertanyaan kawan di atas. “Prof, saya baru transfer untuk renovasi mushalla,” kawan saya itu mengirim kabar pada Selasa, 11 September, dini hari, tepatnya jam 00.16 WIB.
Telah berdiri, mungkin puluhan tahun sebelum saya “ hijrah” mendiami rumah yang saya tempati sejak hampir 15 tahun yang lalu, bangunan mushalla yang hanya beberapa langkah dari rumah saya, di samping tampak ringkih, beberapa bagiannya mulai berubah warna.
Yang tampak mencolok tentu bagian atap. Berikutnya tempat wudlu dan sebagian dinding yang mulai tidak kuasa menahan gempuran lumut. Maka ketika jamaah bersepakat merenovasi mushalla, waqaf dari seorang pengusaha beras, bertemulah dua perasaan antara optimis dan pesimis.
“Dari mana dananya?” salah seorang jamaah melontarkan pertanyaan klasik. Tentu ada konteks pada pertanyaan tersebut. Basis material—saya meminjam konsep dari Karl Marx—warga di sekitar mushalla didominasi petani. Sebagiannya lagi tukang bangunan. Ada juga yang membuka toko “meracang. Memang ada pekerja kerah putih atau white collar, tetapi minoritas dan sebagian besar pendatang. Inilah konteks yang mendasari pertanyaan klasik dari salah seorang jamaah.
“Insya Allah ada jalannya,” jawaban saya terhadap pertanyaan itu. Saya melanjutkan dengan kalimat “provokatif”, “Kita bongkar saja, pasti bantuan akan berdatangan.” Agar optimisme lebih terangkat, saya memberikan keyakinan dari perspektif yang nirwujud, “intangible”.
Apa itu? Yaitu budaya gotong royong. Saya lebih menyukai menyebut dusun jika ada yang bertanya ihwal domisili saya. Lazimnya dusun, warga di Jumput—nama dusun saya—adalah warga yang guyub. Sosiolog berkebangsaan Jerman, Ferdinand Tonnies, menyebutnya “gemeinschaft” yang dikontraskan dengan gesselschaft.
Dalam “paguyuban” warga melebur tanpa sekat. Manifestasinya adalah gotong royong, bahkan tidak terbatas dalam kegiatan publik, melainkan juga privat. Adalah lazim di dusun warga di sekitar gotong royong, “soyo” dalam ungkapan Jawa, membantu warga lainnya yang sedang bangun rumah.
Gotong royong terus dirawat. Budaya ini merupakan milik kolektif warga. Clifford Geertz mengapresiasi sebagai “sense of common culture” yang menghindarkan warga dari konflik jika misalnya ada upaya mengapitalisasi perbedaan. Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid (alm.) menyebut ikatan keadaban atau “bond civility”. Gotong royong adalah ikatan keadaban yang meleburkan perbedaan yang tercipta karena pelbagai variabel.
Pernah ada elite yang coba mengusik ikatan keadaban. Dikatakan langsung kepada saya tentang menguatnya kelompok keagamaan baru yang sebenarnya masih berhulu pada Islam. Tidak begitu substansial perbedaannya antara paham yang dipegang elite itu, pun juga dengan saya, sebagaimana perbedaan antara elite itu dengan saya. Sempat dilontarkan kata “ngluruk”, tentu ditujukan kepada kelompok baru itu.
Alih-alih mendukungnya. Cukup saya katakan, “Sudahlah pak, mereka juga saudara kita.” Tidak hanya pada kelompok baru itu, terhadap komunitas yang telah memiliki tradisi keagamaan yang lebih awal mengakar, alih-alih pula saya mengambil jalan konfrontatif untuk mendesakkan perubahan, saya justru memilih “mengakrabi”.
Saya ingin menyebut “mengakrabi” Islam di akar umbi atau akar rumput. Islam atau muslim akar rumput biasanya dibingkai dengan tradisi kecil atau “little tradition” bila meminjam kategori dari antropolog Robert Redfield, yakni yang menyukupkan kepada kebiasaan yang mengakar daripada mengkasesnya dari sumber-sumber yang otoritatif sebagaimana mereka yang dibingkai oleh tradisi agung atau “great tradition”.
Perubahan tetap bisa dinjeksikan pada level pengetahuan dan kesadaran. Tentu buahnya tidak bisa segera dipetik. Tetapi munculnya pengetahuan dan kesadaran bahwa puspa ragam keberagamaan (ikhtilaf) tidak perlu mengarah ke perpecahan (iftiraq) adalah perubahan itu. Warga di sekitar saya tentu tahu bahwa ada bagian-bagian dari paham dan praktik keberagamaan saya yang berbeda dengan mereka.
Toh level keberterimaan mereka luar biasa. Misalnya saya terbiasa mengimami shalat yang sering mengusik sensitivitas karena beberapa kali saya melewati bacaan tertentu seturut dengan paham yang saya anut. Dengan cara begitu, toleransi antarwarga yang berbeda kian kukuh. Inilah ikatan keadaban.
Dan dengan ikatan keadaban itu, hanya dalam hitungan jam, sebelum adzan Dhuhur berkumandang, mushalla berhasil dirobohkan.
Berikutnya? Pasca “robohnya mushalla kami”, bantuan berdatangan, baik diminta, maupun sebaliknya.
“Prof, saya ingin membantu pembangunan mushalla,” kawan yang lain mengungkapkan lewat WhatsApp. “Saya punya nadzar,” lanjut kawan saya. “Nadzar apa?” tanya saya. Penjelasan ihwal nadzar kawan saya ini menarik. Saya tidak menduga jika kaul atau nafzarnya itu berhubungan dengan publikasi artikel di Jurnal Internasional Bereputasi. Kawan saya ini memang tergolong penulis prolifik karena karyanya banyak dipublikasikan di Jurnal Internasional. Karena modalitasnya yang memadai, beberapa kali saya mendorongnya agar segera berubah status, dari Lektor Kepala ke Guru Besar. “Prof, saya bernadzar, setiap artikel yang dimuat di jurnal internasional, saya keluarkan infaqnya sebesar satu juta.” “Sekarang ada berapa artikel?” tanya saya. “Dua,” jawabnya. “Kalau begitu dua juta dong,” goda saya. “Betul,” katanya. Saya sebenarnya ingin mengambil secara langsung dalam kapasitas saya sebagai panitia. Tetapi keesokan harinya, kawan saya ini yang justru membawakan infaqnya sebesar 2 juta untuk renovasi mushalla. “Mudah-mudahan terus prolifik pak. Dan insentifnya sebagian untuk mushalla di dusun saya lho,” goda saya. “Insya Allah, Prof.” jawabnya.
“Infaq dari keluarga...(nama saya samarkan) untuk mushalla Al Ikhlas. Semoga bermanfaat.” Informasi via WhatsApp pada Rabu, 9 Januari yang lalu, berasal dari karyawan yang tidak begitu lama diangkat sebagai karyawan tetap di UMM. Infaq ini pasti berasal dari insentif akhir tahun yang baru saja diterima. Kebersyukuran memang bisa diungkapkan secara verbal. Tetapi karyawan ini lebih memilih praksis kebersyukuran yang lebih signifikan. “Mas, terima kasih mas. Jazakumullah,” balasan saya via WhatsApp. Jawaban seperti ini pula yang saya sampaikan kepada beberapa kawan yang mengirim donasinya setelah poster pembangunan mushalla saya “share” di “jamaah” WhatsApp tertentu, atau dengan cara “japri”.
“Bah, uang donasi sudah menipis,” Ketua RT yang merangkap bendahara menyampaikan laporan keuangan. Di kampung saya terkadang disapa Abah.
“Insya Allah ada jalannya, Pak RT,” jawab saya.[]
(Mulai ditulis di Masjid Al Akbar, Surabaya, Jumat, 11 Januari 2019).
Comments
Post a Comment