Skip to main content

TABUNGAN PAK LEH


Penulis: Syamsul Arifin (Guru Besar Sosiologi Agama, Fakultas Agama Islam UMM, dan Wakil Rektor I UMM)

Dengan pekerjaannya sekarang yang sudah teratur dan permanen kendati sebagai “cleaning service” di sebuah kantor plat merah, berapa nilai nominal yang bisa disumbangkan oleh Pak Leh ke mushalla yang sedang direnovasi? Saya pernah menanyai pendapatanya yang dibawa ke rumah saban bulannya. Kalau dibuat pembulatan,  Pak Leh membawa uang sebesar 1.5 juta.  Saya tidak pernah bertanya lebih detil, bagaimana Pak Leh mengalokasikan pendapatanya itu. 

Cukup dari senyumnya yang terus mengembang, setidaknya pada setiap diajak ngobrol, saya memiliki kesan, Pak Leh berusaha menikmati hidup. Pak Leh memang tidak pernah diminta memberi donasi baik berupa bahan bangunan atau “material” maupun berwujud rupiah, hingga kemudian momen itu datang  tanpa disengaja (without intention). 

Seandainya tidak diminta membeli selembar tripleks untuk kebutuhan mushalla dengan membawa uang sebesar 60 ribu yang berasal dari bendahara, Pak Leh tidak perlu merogok sakunya dan menambahkan uang sebesar 20 ribu karena ternyata harga selembar tripleks bukan 60 ribu, melainkan 80 ribu. “Saya ganti Pak Leh,” saya menawarkan uang pengganti. “Tidak perlu Bah,” Pak Leh menampik dengan senyum mengembang. “Lumayan Bah, untuk tabungan,” tambah Pak Leh. 

Tabungan, berarti antara lain simpanan uang berasal dari pendapatan yang tidak dibelanjakan, entah sudah beberapa kali disebut oleh orang-orang sebagian warga Jumput, nama dusun di mana saya tinggal, yang sedang mengerjakan septic tankmushalla, Ahad pekan yang lalu. Pak Leh, salah seorang penggali tanah untuk septic tank, beberapa kali menyebut kata tabungan. Rasa penasaran saya dengan biaya pengerjaan septic tank, terjawab. “Dua juta lima ratus ribu, Bah,” jelas Pak Kadi yang mengordinir penggalian septic tank. 


Saya segera menghitung jumlah orang yang mengerjakan penggalian yang nantinya juga membuat dinding dan menutup galian dengan semen cor. Termasuk saya, berjumlah 10 orang. “Lumayan, masing-masing di antara kita kebagian dua ratus lima puluh ribu,” kata saya. “Untuk tabungan, Bah,” sahut Pak Kadi. Tidak perlu menghitung hari, penggalian yang dimulai pada jam 08.00, rampung pada 13.30. 

Sejak mushala direnovasi, saban Ahad pagi Pak Leh sudah terlihat siap dengan beberapa peralatan sesuai dengan “keahlian” yang dimilikinya. Setelah bekerja sebagai “cleaning service”,  hanya hari itu yang digunakan oleh Pak Leh jika ingin terlibat dalam kegiatan gotong royong di dusun. Pak Leh tidak pernah berperan sebagai tukang. Keahliannya baru di level “asisten”.  Karena level “keahlian” baru di level tersebut, level ketergantungan pada tukang juga tinggi. Tetapi, inilah etos Pak Leh, dengan  atau tanpa kehadiran tukang, ada saja yang dikerjakan Pak Leh di mushalla, kendati seorang diri.

Sepertinya Pak Leh ingin renovasi mushalla cepat rampung. Pernah dilontarkan harapan, paling lambat pada bulan Ramadhan nanti, mushalla bisa dipakai. Tidak hanya Pak Leh, Mbah Tari juga melontarkan harapan yang sepadan. Karena usianya sudah melewati angka 70, Mbah Tari membantu dengan doa. Katanya pada suatu waktu, “Saya bantu doa saja Bah. Mudah-mudahan puasa nanti sudah selesai.” “Kalau sudah selesai, saya i’tikaf Bah,” sambungnya.

Kemampuan yang paling utama dari Pak Leh adalah pada kekuatan fisik dan “keahliannya” pada level asisten itu. Dan dengan mengandalkan dua modalitas itulah, Pak Leh tidak pernah absen terlibat dalam proses renovasi mushalla saban pekan, tiap hari Ahad, tentu sebagai volunter atau relewan. 

Bagi Pak Leh, mushalla al Ikhlas adalah rumah kedua. Selain di tempat kerja dan di rumahnya yang sangat bersahaja yang diperoleh setelah pembagian harta pustaka dari kedua orang tuanya, Pak Leh sering menghabiskan waktu di mushalla. Terkadang bertindak sebagai juru adzan. Sering pula berperan pengumandang iqamat. Posisi imam juga dilakoni. Dalam masyarakat berkarakter paguyuban, kerja jarang dibagi-bagi secara jelas, termasuk pembagian kerja terkait pelaksanaan ritual keagamaan. 

Semuanya mengalir begitu rupa. Warga kurang begitu mempersoalkan kualitas pelafadzan bacaan tertentu. Pak Leh lumayan fasih. Bandingkan dengan kualitas bacaan, sebut saja Pak Edo yang sehari-hari sebagai abdi negara. Semangat keagamaannya terjaga. Jelang purna tugas, Pak Edo akan pergi Umrah dengan isteri. Perhatikan cara Pak Edo melafadzkan iqamah, peran yang sering dilakukan. “Allo Akbar...Allo Akbar...Kayya ‘Alasshalah...Kayya ‘Alasshalah...Allo Akbar...Allo Akbar...” Tidak ada satu pun jamaah yang mengajukan interupsi karena keberatan dengan pelafadzan ala Pak Edo. Saya sering tersenyum jika mendengarkan Pak Edo. Tetapi terkadang ada vibrasi pada diri saya karena efek dari ghirah Pak Edo. 

Bandingkan pula dengan cara Pak Man jika mengumandangkan iqamah. Levelnya lebih tinggi dari Pak Edo. Tetapi,  Pak Man yang sehari-sehari bekerja sebagai tukang bangunan, terlalu kreatif. Dia menambahkan kalimat “hamdalah” yang dikumandangkan secara keras sebelum sampai pada takbir yang dilafadzkan “Allo Akbar” oleh Pak Edo. Mbah Tari setali tiga uang dengan Pak Man. Juga ada kemiripan dengan Pak Edo ketika melafadzkan hamdalah sebagai muqaddimah iqamah. “Alkamdulillahi robbil alamin...” begitu Mbah Tari. 

Semua mengalir. Tidak pernah ada perdebatan karena klaim kebenaran. Pun tidak pernah ada ujaran kebencian (hate speech) dan stigma, misalnya melalui ungkapann “tabdhi”, bid’ah. Perspektif pengetahuan saya ingin mengatakan seperti itu. Tetapi saya memilih mengambil peran, terkadang sebagai juru adzan dan iqamah, tentu tanpa embel-embel bacaan di luar bacaan inti adzan dan iqamah. 

Suatu hari sebelum mushalla dirobohkan dan berikutnya direnovasi, Pak Leh berposisi sebagai imam. Hanya ada dua jamaah yang berposisi sebagai makmum, saya dan Mbah Tari. Biasanya sebanyak itu jumlah jamaah Isya’. Selepas al-Fatihah, Pak Leh berlanjut ke al-Zalzalah, surat ke-99 yang terletak di juz terakhir al Qur’an. Saya  kurang begitu tahu, apakah Pak Leh memahami kandungan makna pada setiap ayat yang dibacanya, apalagi arti per kata. 

Pak Leh tentu tidak peduli bagaimana tiap-tiap penafsir terkadang menggunakan konsep yang sama, sementara lainnya berbeda, kendati dikandung maksud yang sama, hanya untuk mengartikan satu kata, termasuk kata “dzarrah” pada ayat ke-7 dan 8 dalam surat al Zalzalah yang dibacanya itu. Buya Hamka penulis Tafsir al Azhar, M. Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah, dan Sayyid Qutub yang menulis Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, menerjemahkan “dzarrah” dengan debu. Tetapi Muhammad Azzad dalam The Message of the Quran mengartikannya dengan atom. 

Entahlah, kita serahkan semuanya kepada Allah swt., apakah uang sebesar 20 ribu rupiah yang dikeluarkan Pak Leh, ditambah dengan cucuran keringat saban terlibat pada proses renovasi mushalla, setara dengan “dzarrah”, atau lebih kecil, malah mungkin lebih besar lagi ukurannya, bagi Pak Leh dimaknai sebagai tabungan yang kelak akan menolongnya ketika berpindah tempat kehidupan. 

Pak Leh telah menabur kebaikan. Kebaikan pula yang kelak akan mendekati dan menolongnya. Bukankah, “In ahsantum ahsantum li anfusikum. “ “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri?” Begitulah bunyi dan terjemahan nukilan ayat ke-7 dalam surat al Isra’. []

Malang, Ahad, 13 Januari 2019 (Ditulis antara lain di Masjid al-Waqar, Permata Hijau, Tlogomas dan Masjid al-Falah, Jl. Bandung, Malang).

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...