Anak lanangku tiba-tiba mutung. Mogok. Tidak mau balik ke pesantren Gontor. Padahal sudah tiga tahun mondok di sana. Padahal tahun ajaran baru ini, naik positif ke kelas empat.
Ini benar-benar menjadi “kado” lebaran yang istimewa bagi kami. Ortunya. Sangat menguras emosi dan pikiran. Rasionalitas pilihan kutawarkan. Tidak menggoyahkan sedikitpun keputusannya. Hanya ketukan pada hatinya. Melalui tetesan air mata ibunya. Menggerakkannya kembali masuk pondok. Di detik-detik terakhir daftar ulang.
Walaupun tetap ia isyaratkan sikap terpaksa dan tebarkan ancaman “pindah pondok”. Ala kulli hal… kesyukuran tetap kupanjatkan. Kuserahkan sepenuhnya kepada Pemilik Tunggal kehidupan. Dzat Maha Pembolak-balik hati.
Bisa jadi. “Kado” ini juga merupakan teguran dari-Nya bagi kami. Agar selalu sadar. Bahwa ia terlahir dari kami, tetapi Dia-lah Sang Pemilik Sejati. Sang Pemelihara dan Pendidik Hakiki. Maka sepantasnya, kami dawamkan istighfar, do’a dan dzikir. Seraya bermohon. Agar ke depan. Anak lanangku diajari oleh-Nya tentang kekuatan: istiqamah, sabar, syukur dan ikhlas. Bagiku, itulah modal utama kehidupan. Semoga. Allahumma amin.
Isyarat Itu
Sejak awal liburan, ia mengisyaratkan keinginannya tersebut. Tidak vulgar. Namun bisa dibaca. Kami, bapak-ibunya, tidak menanggapi. Tepatnya, dianggap candaan saja. Setiap ia isyaratkan itu, kami guyoni. Begitu. Selalu. Selama 50 hari libur.
Ternyata ia serius. Tidak main-main. Serasa menyimpan bom. Dan itu meledak saat injury time. Hari terakhir kami mengantarnya balik ke pesantren. Ia mengeras seperti besi. Tidak mau! Maunya: pindah pondok. Ke pesantren kecil. Yang tidak dikenal. Yang tidak banyak aturan. Yang disiplinnya tidak seketat Gontor.
Karakteristik
Anak lanangku ini memang relatif pendiam. Tepatnya, tidak mudah berteman. Enam tahun di SD. Hanya satu orang sahabatnya. Yang benar-benar ia bisa bermain dengannya. Ia cenderung enggan mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya kepada orang lain.
Apalagi kepada saya, bapaknya. Setiap ia membaca di kamar. Atau sekadar bermain HP. Kudekati untuk duduk bersamanya. Ia menjauh dan pindah kamar. Kalau ia nelpon, lebih ke HP ibunya. Ia bisa berbicara tentang apa yang diminta kepada ibunya. Ketika HP diberikan kepadaku, seketika ia diam. Seakan kehilangan kata.
Saya masih menganggap wajar. Toh, seringkali begitu. Antara anak lelaki dengan bapaknya: kurang komunikatif. Persis seperti aku dengan ayahku. Dulu. Hehehehe.
Pendidikan untuk Hidup
Itulah di antaranya. Alasan aku pilihkan buatnya pendidikan gontory. Agar ia belajar hidup dan kehidupan. Agar ia mengerti: hidup itu tidak sendirian. Agar ia memahami: hidup itu pilihan dan perjuangan. Agar ia kuasai: hidup itu adalah siasat mengkompromikan antara cinta dan ketaatan; antara kepedihan dan kegembiaraan; antara kesabaran dan kesyukuran; antara kehilangan dan keihklasan; antara kedaulatan dan kemanfaatan; dan.. dan..
Lebih jauh lagi. Agar ia memaknai sulitnya hidup berjamaah. Lalu belajar: simpati dan empati. Agar ia mengalami beratnya dilecehkan. Dibully. Dijatuhkan. Lalu ia belajar tidak putus asa. Tidak cengeng. Tidak pengecut. Tetapi justru Bangkit. Menjadi kuat. Tanpa mahir melaknat dan menyikat.
Lebih dari itu. Agar ia terbiasa dengan pilihan karakter mulia. Memenej dan mendisiplinkan sendiri dirinya. Mengenali diri dan potensinya. Mengendalikan egonya. Menahan amarahnya. Mencerdaskan ranah emosional dan spiritualnya.
Kunci, bukan Lemari
Bagiku, Gontor punya milliu dan perangkat paedagogis untuk itu. Dan siap memberikannya sebagai kunci. Bukan lemari. Sebagai kail. Bukan ikan.
Untuk urusan ranah kognitif (akademis). Bagiku bukanlah yang terpenting. Ia akan berkembang nanti. Ketika di perguruan tinggi. Untuk saat ini, kunci pembuka brangkas ilmu dan bagaimana (etos) penggunaannya, itulah yang utama. Dan itu pada pembentukan karakter.
Kado Terbaik, InsyaAllah
Dari itu, ketika anakku mutung seperti ini. Adalah ujian. Bagiku dan baginya. Adu kuat-kuatan. Antara ego anak yang pasti selalu cenderung pada yang enak (padahal belum tentu baik). Dengan kemauan baik orangtua bagi masa depan anak (yang saat ini belum tentu enak). Tetapi kuyakin, ketika dewasa nanti, ia akan mensyukurinya sebagai process of learning yang amat berarti dalam hidupnya. Walaupun saat ini, mungkin ia melaluinya dengan amat terpaksa. Penuh derai air mata.
Masa depan memang tidak hanya berpijak dari Gontor. Bisa dari latar pendidikan dasar menengah manapun. Di manapun. Tetapi tentunya aku tetap boleh berharap. Semoga anak-anakku di Gontor bisa husnul khatimah. Dan saat mereka dewasa nanti. Saat mereka mampu memaknai. Saat mereka, mungkin, membaca tulisan bapaknya ini. Mereka akan menilai bahwa pilihan orang tuanya saat ini adalah kado terbaik buat merajut kehidupan mereka. InsyaAllah.[]
Starting penulisan di Gontor, dan finishing di Joyosuko Metro-Malang. 19 Juni 2019.
Ahlan wa marhaban ya Duktur... Mohon lanjutkan pituturnya. Cerita adalah nasihat dengan sejuta makna. Allahu yubarik fikum.
ReplyDeleteterima kasih pak Duktur, mari kita saling berbagi cerita ttg kearifan agar hidup kita semakin hidup. wa Allah yubarik fikum insyaAllah
Delete