Hanya ada di Indonesia. Ya, khas tradisi Indonesia. Walaupun aslinya dari Bahasa Arab. Namun, kemungkinannya orang Arab di Timur Tengah sendiri tidak mengenalnya: Halal bi Halal. Halalartinya diperbolehkan. Diperkenankan. Tidak diharamkan. Biartinya dengan. Maka halal bi halal dimaksudkan untuk memperkenankan segala salah dimaafkan. Tidak diharamkan untuk mendapatkan maaf. Untuk itu, mungkin dalam Bahasa Arab lebih pas disebut istihlal: permohonan maaf agar segala salah dihalalkan.
Reuni Keluarga
Halal bi halal Bani Fatimah, keluarga besar isteriku, dilaksanakan pada hari kedua Idul Fitri 1440H. Sedangkan halal bi halal Bani Musliman, keluarga besarku, dilaksanakan pada hari keempat lebaran. Tahun ini keduanya ditempatkan di jantung kota. Undangan dipatok pukul 10.00 WIB. Pertimbangannya, jam segitu makanan sudah siap dihidangkan. Memang perjumpaan tanpa makan-makan seperti sayur tanpa garam: ada yang kurang.
Pukul 11.00 semua anggota keluarga sudah berdatangan. Mulai saudara tertua hingga anak, ponakan, misanan, cucu, dan cicit yang masih balita pun tumplek blek dalam satu ruangan. Saling duduk bersila. Berdempetan. Karenanya, cuaca pesisir Kab. Tuban terasa semakin menyengat. Baling-baling kipas angin terasa tak sanggup mengusir panas tubuh yang saling menyatu. Namun, semua itu justru semakin menambah hangatnya suatu perjumpaan.
Berharap Keberkahan
Dalam kebersamaan ada barokah. Sabda Kanjeng Nabi: tho’amul wahid lil itsnain, mendalilkan itu. Ditambah lagi ayat/hadits tentang keberkahan silaturrahim. Klop tenan. Lengkap sudah. Keindahan itu. Kehangatan itu. Semua terasa melebur dalam satu rahim. Satu peranakan. Satu ikatan kasih sayang.
Betapa banyak. Dengan sahabat yang tidak diketahui muasalnya terikat melebihi saudara. Namun, dengan adik-kakak sendiri justru seperti musuh yang enggan saling sapa. Halal bi halal di sini menjadi penting adanya. Paling tidak, bisa saling mempertemukan. Di tengah ikatan kerja duniawi yang lebih menguras masa dan perhatian.
Lebih Bernilai Guna
Tentunya, saling anjang ke rumah saudara tetap lebih utama. Namun, perkembangan zaman yang semakin menjajakan egosentrisme perlu disiasati secara cerdas. Agar, kata orang Jawa: nggak kepaten obor. Halal bi halal seperti ini di antaranya. Juga perlu dikreasikan dan diberdayakan. Supaya tidak terkesan formalitas belaka, tetapi lebih bernilai guna. Misalnya, dengan menjahit bersama dompet keluarga. Saling berdonasi semampunya. Untuk membantu saudara bila dirudung musibah. Untuk menjamin biaya pendidikan anak-anak berbakat yang melanjutkankan studinya. Untuk saling menjaga sesama saudara agar tidak disantuni oleh para tetangga. Apalagi dari mereka yang bukan seagama. Karena sanak-kerabat adalah dzawi qurba. Yang paling berhak atas saudaranya. Wa Allahu a’lam.[]
Comments
Post a Comment