Entahlah. Dari mana ide ini muncul. Niatku hanya ngejar jama'ah Isya. Hanya itu. Mumpung isteri dan anak-anakku belanja di Bravo. Daripada nunggu di mobil. Mending cari musholah atau masjid. "Ma, aku isya'an sik yo" kukirim pesan via Whatsapp. Dan cabut.
Terdengar adzan sayup-sayup. Kukejar. Jalan kaki. Lewat pintu masuk parkiran mobil lalu belok kiri. Lumayan jauh. Bagi orang zaman now yang telah termanjakan alat transportasi. Tak kutemukan tempat ibadah, padahal adzan sudah usai. Sudahlah jalan terus saja. Toh hanya lurus. Sampai kudapati ekor antrian becak yang berderet rapi. Baru nyadar. Ini kan sebelah selatan alun-alun Tuban. Ya sekalian ke Masjid Jami'nya.
Terdengar suara iqamat. Kupercepat langkah. Kuabaikan beberapa tawaran tukang becak. Kumasuk di sela-sela keramaian penziarah makam Sunan Bonang. Dan sampai. Lumayan, bisa ikut berjamaah. Walaupun tertinggal satu rakaat.
Mengenang Masa Lalu
Shalatku benar-benar tidak khusuk. Rakaat ketiga, terbayang ide ini. Kupejamkan mata agar bisa memaknai setiap bacaanku. Gatot: gagal total. Baru sebentar, muncul lagi ide ini. Setan memang amat lihai dalam menggoda shalat seseorang. Ia membisikkan ide tentang napaktilas. "Susuri lokasi persinggahan saat hilang di kota kelahiran ini". Begitu. Bisiknya. Akupun terkapar. Kalah. Astaghfirullah..
Tepatnya, tahun 1987. Hari terakhir puasa. Aku dijemput Pak Lik dan kakakku. Dari muqim Ramadhan di Pesantren Gontor – Ponorogo. Untuk bimbingan masuk pesantren modern tersebut. Usiaku kala itu 12 tahun. Lebih muda 2 tahun dari kakakku.
Perjalanan Pulang
Dari desa Gontor, kami naik dokar menuju terminal di kota Ponorogo. Lalu naik bus Ponorogo-Madiun. Pindah lagi bus Madiun-Surabaya. Turun di terminal Jombang saat sore mulai datang. Ternyata tidak mudah cari bus Jombang-Tuban. Kalaupun ada, busnya kecil dan sudah full. Berdesakan. Maklum, besoknya lebaran. Semuanya berkeinginan sama: mudik.
Akhirnya, diputuskan naik bus seadanya. Jombang-Bojonegoro. Turun di Pasar Babat. Dari situ naik becak. Berhenti di bawah jembatan Babat-Widang. Lalu jalan kaki naik undakan ke atas Jembatan yang menghubungkan Lamongan-Tuban tersebut. Ternyata di sana sudah bejibun calon penumpang yang juga berharapan sama: bus Surabaya-Tuban.
Terpisah di dalam Bus
Setiap ada bus datang, langsung diserbu. Berdesakan. Saling berebut naik. Terpaksa kami juga ikut berjibaku. Saat kaki kecilku telah mampu injakkan lantai pintu belakang, kudengar teriakan: polisi... polisi. Seketika bus melaju, dan tubuhku terdorong oleh para penumpang ke posisi tengah. Berdiri. Berjubel. Sambil perpegangan pada sandaran kursi penumpang. Sebisanya.
Bis melaju Babat-Tuban. Di jalan, penumpang naik turun. Bergantian. Sehingga bus selalu full seat. Ketika memasuki kota Tuban, aku dapat kursi. Kutengok kanan-kiri, depan-belakang, aku tidak menemukan Pak Lik dan kakakku. Sepertinya mereka tidak naik di bus yang sama. Aku mulai panik. Berkecamuk di hati: Sendirian. Bawa tas jinjing. Tanpa uang sepeserpun di saku. Dan tidak mengenal lokasi.
Hilang di Tanah Kelahiran
Bus memasuki terminal Tuban (terminal lawas). Kondektur teriak: “Yang turun di pasar atom, lanjut”. Entahlah. Apa yang mendorongku tidak turun saat itu. Bus lalu keluar terminal, belok kanan dan melaju ke arah Timur. Ku yakin ke timur, karena kulihat keluar jendela sebelah kiri sudah laut. Terus jalan dan terusss. Hingga kemudian berhenti di depan satu gang. “Pasar Atom, terakhir” teriak kondektor berulang-ulang. Aku bingung.
Kondektur sepertinya mengenali kebingunganku. Ia tanya tujuanku. Kusebut nama desaku: Ngaglik. Entah ia tahu atau tidak, ia hanya bilang: “terakhir turun di sini”. Aku pun beranjak. Tapi anehnya, aku tidak ditarik ongkos sepeserpun. Mungkin ia merasa kasihan: cah ilang.
Aku tengok kanan-kiri. Tidak mengerti hendak ke mana. Tiba-tiba terbetik alun-alun. Ya, di pesantren kemarin, aku berkenalan dengan anak dari Tuban juga. Katanya ia tinggal dekat alun-alun. Tetapi di mana tepatnya dan siapa bapaknya, aku tidak tahu.
Mencari Masjid Jami’
Aku beranikan diri bertanya ke seseorang tentang lokasi alun-alun kota. Ia hanya mengarahkan telunjuknya ke arah Barat. Aku ikuti. Berjalan sambil memanggul tas jinjing yang besarnya separoh dari badanku. Kutemukan lapangan luas yang di sebelah baratnya ada masjid besar (Jangan bayangkan seramai dan seindah sekarang). Aku yakin, itu alun-alun.
Aku menyeberang. Terus berjalan tak tentu arah. Sempat duduk di teras masjid, sekadar istirahat. Lalu berjalan lagi. Tak terasa memutari alun-alun. Sampai pojok timur-lautnya, aku belok ke kanan. Dan menyeberang jalan raya. Terus berjalan lagi. Ternyata kembali ke lokasi aku turun dari bus.
Entah dari mana sumbernya. Tiba-tiba terbetik dalam hati: saya harus kembali ke masjid itu. Mungkin sederhananya: kalaupun terdampar semalaman di kota kelahirannku ini, setidaknya bisa tidur di masjid. Atau minimal, yang masuk masjid pastilah orang baik-baik. Alur berpikir anak-anak. Sederhana dan positif.
Ditemukan kembali
Ya, aku harus kembali. Segera aku putar badan dan melangkahkan kaki kembali. Hingga sampai di depan gerbang bertuliskan “Pendopo Kabupaten Tuban”. Di situ ada beberapa orang berkerumun. Dihalau oleh polisi untuk tidak lewat di depannya. Aku pun terhenti. Mencoba menelisik. Ternyata dari dalam kompleks pendopo hendak keluar iring-iringan truk dan pick-up. Rombongan mobil takbiran. Aku duduk di atas trotoar dengan tas di pangkuanku. Menunggu kendaraan takbir keliling itu keluar semuanya. Tiba-tiba, dari belakang ada tangan menepuk pundakku sambil terdengar suara: “Ayo muléh!”. Kutengok asal suara: ternyata kakakku. Lalu beberapa saat kemudian hadir pula Pak Lik-ku.
Dibawanya aku makan malam. Tepatnya buka puasa di warung area Pasar Atom. Dekat destinasi wisata Bum Tuban (lagi-lagi, jangan bayangkan seperti sekarang kondisinya saat itu). Setelah itu… sambil menahan letih dan kantuk, kamipun menunggu penumpang angkutan Colt Tuban-Paciran penuh. Kisaran pukul 24.00an, angkutan pedesaan itu baru beranjak membawa kami menuju kampung halaman.
Perjalanan, Kekuatan dan Cinta
Kini. Setelah 32 tahun pengalaman itu. Aku serasa diingatkan kembali. Diminta untuk menyusuri tempat-tempat persinggahan perjalanan kecil ini. Yang dalam renunganku bisa jadi inilah pijakan awal perjalananku berikutnya: Bolak-balik via kapal laut (Kambuna; Kerinci) Surabaya-Medan (1993-1994); 2 bulan mbolang di Iran (2007); 6 bulan mbolang di Riyadh, Saudi Arabia (2008); seminggu mbolang di Malaysia (2008); dan 9 hari mbolang di Swedia dan Norwegia (2016). Mawlana Rumi pernah bertutur: a traveling gives you power and love. Perjalanan memberimu kekuatan dan cinta. Termasuk kuat menghadapi tantangan, dan cinta tanah kelahiran. Wa ilallah turja’ul umur..[]
Awal penulisan di Karangagung-Tuban, finishing di Gontor-Ponorogo 16 Juni 2019.
Ini cerita yang sangat mengesankan, bikin saya ikut degdegan hehe...
ReplyDeleteMohon bisa diperbanyak cerita di pesantren Ustadz, saya yakin banyak yang suka dan siap mengambil hikmah... Bravo...