Pulang. Selalu saja kurindukan. Ada yang bilang: Itulah ekspresi dari kesadaran batini. Bahwa hidup adalah proses perjalanan kembali. Dari dan kepada Allah, Sang Penganugerah kehidupan. Termasuk mudik lebaran kali ini. Setidaknya ada yang tak ingin dilupakan: sungkem orang tua; halal bi halal bersama kerabat seperanakan; reuni tipis teman sepermainan; dan napaktilas suasana kampung halaman.
Desa tempat aku dilahirkan, namanya Ngaglik. Konon, menurut para sepuh: kapal-kapal Kompeni dahulu tidak bisa berlabuh di sini, karena terlihat dari kejauhan seperti daratan yang iglik-iglik (tinggi). Karenanya disebut Ngaglik. waAllahu a’lam. Namanya juga legenda!
Letak desaku sebelas kilometer dari kota Kabupaten Tuban. Ke arah timur menuju Paciran. Masih termasuk kecamatan Palang-Tuban. Sebelah utaranya langsung menghadap laut Jawa. Sebelah selatannya lahan pertambakan: ikan dan garam. Sebelah baratnya, berbatasan dengan desa Glodok. Dan sebelah timurnya, berdempetan dengan desa Lohgung, Brondong-Lamongan. Hanya dipisah jembatan kecil. Melintasi sungai yang airnya bermuara ke lautan.
Di situ bersandar aneka perahu nelayan. Ada Korsin, Ijon-ijon, Betetan, dan Pelopean. Berjejer memanjang hingga ujung dermaga: Bum Ngaglik. Yang di atasnya juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hari itu, hari Jum'at. Saat Kang Naryo menemaniku menyusuri kembali kenangan masa lalu. Di sini.
"Walaupun mungkin tidak semuanya taat beragama" kata Kang Naryo, "tetapi kalau Jum'at begini, mayoritas mereka tidak melaut. Kalaupun ada yang berangkat, biasanya jam sepuluh sudah pada mendarat". Pantas saja. Di dermaga ini perahu-perahu hanya parkir dan berjajar rapi. Tidak tampak ada kegiatan di atasnya.
Basis ekonomi desaku sepenuhnya dari laut. Mayoritas warga adalah nelayan. Home-industrinya olahan hasil laut. Seperti terasi rebon, ikan asin, ikan pindang, ikan asap dan sejenisnya. Dulu, waktu masih kecil. Olahan terasi atau ikan ini dijemur di pinggir sepanjang jalan utama. Mulai dini hari hingga sore menjelang. Akibatnya, penumpang Colt umum Paciran-Tuban hapal betul. Kapan harus tutup hidung bila melintasi desaku.
"Bacin-bacin, itu bau duit loh" komentar ibuku saat kuberitahu ejekan temen-temenku dari luar desa. Ya, itu sumber rejeki. Selain dijajakan keluar daerah melalui pengiriman langsung, hasil olahan itu juga dijual-belikan di pasar desa yang tidak mengenal libur.
Desaku memang pesisiran. Khas kampung nelayan: semerawutnya. Bau gotnya. Hingga kehidupan dan interaksi sosialnya. Jangan bayangkan seperti kampung mataraman yang berbasis pertanian: lanskap pemukiman rapi berjejer seperti lajur-lajur persawahan. Kampungku unik: rumah-rumah menghadap sekehendak pemiliknya. Kesannya susah diatur. Seperti angin dan ombak yang tak mudah dikendalikan.
Di sepanjang jalan Dendles yang membelah desaku memang tak tampak "keunikan" itu. Namun, akan terasa bila masuk di gang-gang sempitnya. Bahkan tidak jarang, ada gang yang keranda mayit pun tidak bisa berlalu-lalang. "Coba Kang, dilakukan penelitian" ujar Kang Naryo. "Penelitian apa?" Tanyaku serius. "Tentang pengaruh gang sempit terhadap tingkat perselingkuhan warga" Jawabnya sambil ngekek. Memang sekilas, di sini jumlah janda amat besar.
Keunikan lainnya: watak dan logat bicara. Terkesan keras dan kasar. Bahasa Jawa ngoko lebih banyak digunakan. Hatta berkomunikasi dengan orang tua. Katanya, lebih akrab dan tidak berjarak. Mungkin egaliter. Lagi-lagi khas budaya arek. Walaupun begitu, jangan terkejut jika di sini orang gila amat kerasan. Teropeni oleh warga. Dimandiin. Dicukur rambutnya. Diganti pakaiannya. Dikasih makan. Padahal si gila itu tidak jelas muasalnya. Sanak bukan. Saudara apalagi.
Watak keras tapi hati nan lembut ini juga tampak pada beberapa kasus anak pupon (anak angkat) dari keluarga asing yang terlunta-lunta di sini. Tak segan warga berebut mengadopsi anak itu, padahal anak kandungnya sendiri sudah bejibun. Kasihan katanya.
Tak pandai berhemat adalah “keunikan” berikutnya. Mungkin karena merasa tak perlu modal menernak ikan di lautan. Sehingga cenderung boros dalam membelanjakan hasil tangkapan. Apalagi bagi anak mudanya. Keluarga belum jadi tanggungan. Plus pendidikan tidak sepenuhnya jadi pemandu kesadaran. Hasil melaut berapapun cenderung habis seketika. Dan tak jarang dibelanjakan tiada guna. Bahkan terjatuh di kubang kemaksiatan. Terutama perkelahian antar geng, atau antar kampung. Yang bermula dari tradisi mabuk-mabukan. Geng yang paling terkenal di antaranya: Gondo Mayit dan Armed.
Mabuk-mabukan serasa menjadi tradisi turun temurun. Hilang satu generasi karena sudah pada berkeluarga. Menyusul generasi berikutnya. Dulu, mendém dengan tuak atau arak khas Tuban. Lalu berganti tren dengan pil koplo (narkoba). Di mana-mana. Di sudut-sudut gang, tampak pemuda teler. Berjalan-berjalan sambil meracau tak jelas. Atau diam dengan kepala geleng-geleng tidak karuan. "Serasa desa ini ada gempa. Banyak orang sempoyongan" kata Kang Lis, teman SDku, saat kudatangi di rumahnya. "Alhamdulillah, sekarang sudah sangat berkurang". Para pengedar dan pemakainya ditangkapi dengan Perda yang keras. Pengedar konon kena kurungan tujuh tahun. Sedang pemakai, tiga tahun. Tanpa boleh ada tebusan. "Kini Ngaglik, insyaAllah tiangnya mulai kokoh kembali. Tak lagi oglak-aglik"
Terakhir, ada dua organisasi sosial keagamaan yang turut mewarnai desaku: NU dan Muhammadiyah. Mewarnai dalam dinamika keagamaan melalui masjid dan langgar-langgarnya. Juga dalam pendidikan masyarakat melalui dakwah dan perguruannya. Kedua warna ini sering berpadu menjadi lukisan indah. Semisal Karnaval Takbiran di dua hari raya. Semua masjid dan musholanya mengeluarkan parade takbir yang memacetkan jalan utama. Keluar dengan aneka ragamnya. Mulai anak-anak TPA hingga muda-mudi dan jamaah emak-emaknya. Konon, inilah yang membuat para TKI kampungku di Malaysia, Hongkong, Taiwan atau Saudi Arabia selalu rindu pulang karenanya.
Namun, tidak pula bisa dipungkiri. Kedua warna ini juga kadang saling bersinggungan. Terutama saat kanvas politik-praktis dibentangkan. Semisal pilihan kepala desa. "Namun, sekarang semuanya sudah mencair" kata Kang Lis yang istrinya aktivis Muslimat, sedang dia sendiri jamaah dan didikan Muhammadiyah. "Tidak seperti dulu. Orang-orang sekarang sudah paham. Pilihan politik dan tradisi keberagamaan boleh berbeda, namun persaudaraan dan persahabatan lebih utama" lanjutnya.
Sebulan lagi. Desaku punya hajat Pilkades. Ada tiga calon yang maju. Salah satunya petahana. Sebagaimana lima tahun yang lalu, mudah-mudahan semuanya kondusif, aman terkendali. Dan terpilih pemimpin yang amanah, jujur, adil dan bijaksana. Semoga! []
Karangagung, 11 Juni 2019.
Comments
Post a Comment