Dia sahabatku. Juga tetanggaku. Saiful Mustofa. Berangkat haji lagi. Tahun ini. Bersama isterinya.
Kemarin, sebelas Juli. Bertepatan Delapan Dzulqa’dah. Isuk njemun, dilepas dengan selametan plus tasyakkuran. Ada tumpengnya. Ada bubur abangnya. Juga soto dagingnya. Mengundang tetangga dan teman-teman. Penuh hikmat. Penuh haru. Penuh derai air mata. Satu-persatu hadirin dipeluk. Diminta maafnya. Disuwun restunya. Dimohon do’anya.
Bacaan shalawat. Do’a-do’a keselamatan-kemabruran. Hingga dipamungkasi dengan kumandang adzan dan iqamat. Mengiringi keberangkatan. Sampai mempelai haji memasuki mobil pengantar. Mengingatkanku pada adzan-iqamat. Di tradisi pemakaman tertentu. Yang dibacakan saat melepas jenazah di liang lahat.
Tak terasa. Ikut berkaca-kaca pula mataku. Maklum, terbawa suasana kebatinan. Setidaknya karena dua hal.
Suasana Kebatinan Lepas Haji Masa Lalu
Pertama. Sungguh aku tidak bisa membayangkan. Bagaimana mengharu-birunya acara seperti ini saat perjalanan haji masih dengan kapal laut. Di jaman susah dahulu.
Kalau di jaman now. Kemajuan teknologi serba memudahkan transportasi, akomodasi dan komunikasi. Surabaya-Jeddah, dengan kapal terbang hanya 9-an jam. Sedang, di jaman old, kata ibuku: Dengan kapal laut perjalanan haji bisa berbulan-bulan lamanya. Dan tidak jarang, hanya nama yang terdengar pulang.
Haji dan “Radikalisme”
Lagi-lagi kata ibuku: Hanya mereka yang kuat dasar ilmu dan komitmen Islamnya. Plus kaya. Yang benar-benar mau berhaji di jaman itu. Haji mereka jadinya berkualitas. Hasil dari taruhan nyawa dan segalanya.
Dari itu. Pantaslah kiranya. Para haji ini saat kembali ke tanah air, menjadi pioneer. Pelopor. “Pemberontak”. “Radikal”. “Militan”. Yang menggerakkan rakyat melawan setiap bentuk penjajahan dan ketidakadilan. Lalu konon, siasat penjajah Belanda mulai menambahkan kata “Haji”. Di depan nama setiap yang baru pulang dari Tanah Suci. Untuk melebeli. Menciri pribumi Muslim yang perlu diwaspadai.
Diadzani-diiqamati, Sakral Coy
Saya hanya bisa menduga. Dalam suasana kebatinan seperti inilah. Tradisi: diadzani-diiqamati, benar-benar terasa sakralnya. Magisnya. Ada keberserahan total terutama dari keluarga dan handaitaulan. Untuk melepas. Ikhlas. Walau bisa jadi, tidak kembali.
Ataupun jika bisa kembali. Maka, ikhlas menerima pribadi yang terlahir lagi. Terbarukan kualitas insani. Karena sungguh manasik dan perjalanan haji telah menjadi process of learning yang berarti. Process of becoming yang sejati. Seperti Mukmin yang hendak melakukan perjalanan mi’râj: shalat. Diadzani. Diiqamati. Lalu bermuwajjah bersama-Nya. Dan idealnya: seusai itu terpancarlah kebajikan diri (min atsaris sujûd).
Haji Backpacker
Kedua. Teringat kembali perjalanan haji kami di tahun 2008. Kami bertiga: Saya, Saiful Musthofa, dan Miftahul Huda. Diberi pengalaman haji yang luar biasa. Berliku. Dan terlalu indah untuk dilupakan. Terutama buat saya pribadi. Sepertinya, pengalaman haji ini bagian kecil dari deretan ujian yang diperuntukkan bagiku saat kuliah di Tadrib Muallimil Lughah, King Saud University (KSU) Riyadh-Saudi Arabia. Tetapi dua sahabatku itu, mungkin karena niat tulus “menghiburku” ikut nimbrung menemaniku di episode perjalanan haji ini.
Setiap mahasiswa asing KSU, di tahun pertama, mendapatkan hadiah haji gratis dari kampus. Serba luks. Transportasi, akomodasi dan konsumsi selama haji terjamin. Dari 3 mahasiswa baru asal Indonesia, ndilalah namaku tidak muncul di daftar calon haji. Akhirnya, saya ikut nimbrung di Travel Aswaja. Gratisan. Etok-etok sebagai pendamping/muthowwif (Tentang ini, bisa baca di). Dan dua sahabatku ini rela meninggalkan fasilitas haji via kampus yang begitu istimewa. Ikut bersamaku. Harus berdiri. Bergelantungan di bis sejauh Riyadh-Makkah dengan tas ransel di pundak. Kira-kira 11 jam lamanya.
Ambil Miqat
Di Thaif, bis berhenti. Jam menunjuk angka 2 dini hari. Jamaah ambil miqat. Mandi. Ganti baju ihram. Shalat. Dan masuk bis lagi. Bersiap-siap memasuki Tanah Suci.
Sampai adzan subuh berkumandang, bis tidak juga berangkat. Akhirnya, jamaah turun lagi. Melaksanakan sholat subuh. Seusai itu, kami diminta masuk mobil-mobil sewaan. Seperti ambulan. Produk Eropa. Dengan sopir dan asisten, pemuda Arab. Berjubah. Berimamah. Dan menutup wajah kecuali mata (seperti di film-film sahara). Membawa kami memasuki padang pasir menjauhi dua pintu taftish (pemeriksaan).
Dengar-dengar, memang di musim haji, diterapkan pemeriksaan yang super ketat bagi calon haji via darat. Ada 3 lapis pintu pemeriksaan untuk masuk Tanah Suci. Entah karena pertimbangan apa, biro travel ini menghindari pemeriksaan tersebut. Maka petualangan haji kami semakin seru.
Naik Turun Gunung
Mobil-mobil sewaan ini ternyata tidak bisa leluasa masuk padang pasir. Karena jalan-jalan tikus sudah banyak diblokir oleh polisi. Akhirnya jamaah diturunkan di tengah gurun. Kami berjalan berkilo-kilo meter jauhnya. Naik-turun gunung. Menyusuri lembah bebatuan khas tanah Arab. Sesekali memasuki gorong-gorong lintasan air hujan yang lumayan besar. Tiada akses komunikasi. Apalagi merekam suasana lewat photo. Karena dilarang total oleh para pemuda Arab tersebut. Entah apa alasannya. Padahal kalau diabadikan: asyik juga pemandangannya. Karena di jalanan yang sama. Di lintasan gunung yang sama. Di lembah yang sama. Terlihat ribuan pejalan kaki. Para calon haji dari berbagai negara (dari paras dan bahasa mereka). Juga sama-sama berpakaian ihram nan putih.
Dengan sedikit modal bahasa Arab yang kupunya, kucoba berkomunikasi dengan mereka untuk cairkan suasana. Gatot: Gagal total. Mereka sangat irit bicara. Sesekali mereka hanya bicara via HP. Berhubungan dengan kawan-kawannya. Yang sesekali terdengar kata “mujâhid” untuk menunjuk polisi patroli. Sepertinya dari jauh kawannya memandu dengan melihat dan menginformasikan setiap pergerakan polisi. Sampai tibalah kami di suatu tempat. Di mana bis Travel beserta barang bawaannya menunggu di sana. Jamaah segera naik bis. Dan melanjutkan perjalanan.
Memasuki Tanah Suci
Pada pintu taftish terakhir, bis berhenti. Antri. Diperiksa petugas polisi. “Andunisiy?” ucapnya saat masuk pintu depan bis. “Na’am, indunisiy” Jawab kami. Polisi itu hanya sekadar lihat-lihat kami. Lalu turun lagi. Dan meminta bis melanjutkan perjalanan. Kami pun memasuki Tanah Suci. Langsung ke pondokan yang disewa. Di daerah Aziziyah. Sekedar meletakkan barang, membersikan diri dan istirahat sejenak. Berikutnya mulai mengikuti manasik haji.
Di sini pengalaman haji backpacker sungguh terlalu manis untuk dibuang. Berat. Sengsara. Namun “bersyukurlah atas waktu yang berat”, mengutip Margidu WP, “karena ia menjadikanmu diri yang indah”.
Arafah-Mina-Muzdalifah
Terbayang perjalanan menuju Arafah. Berdesak-desakan di bis umum yang mengangkut jamaah. Asal bisa nyampai di padang perjumpaan Adam-Hawa tersebut. Di sana, di mana pun tidak masalah. Asal bisa wuquf dan banyak memanjatkan doa.
Pun terbayang perjalanan saat magrib tiba. Dari Arafah menuju Muzdalifa. Berjalan kaki bersama jutaan jamaah dari seluruh dunia. Iringan suara talbiah yang menggema. Deru debu berterbangan mengiringinya. Pun ujian kesabaran sepanjang jalan akibat ulah dan budaya yang berbeda. Menambah asyiknya kebersatuan ukhuwwah islamiyah.
Demikian pula, masih tergambar bagaimana kami terlentang bersama. Beristirahat malam tanpa membawa apa-apa saat mabit di Muzdalifah. Hanya berbungkuskan kain putih yang sama. Tiada beda dalam kasta. Ras dan bangsa. Tidak derajat. Tidak pangkat. Semua seperti jenazah. Sambil mengumpulkan butiran-butiran kerikil untuk Jumrah. Serasa seperti emas yang paling berharga.
Juga masih terlintas. Bagaimana mabit di Mina. Tiada kami memiliki tenda. Di mana ada ruang kosong kami diami. Diusir oleh askar. Pindah dengan cueksnya ke tempat lain. Diusir lagi. Pindah lagi. No problemo. Seperti orang mbambung pun, dijalani.
Ternyata semua itu asyik-asyik saja. Indah jika dirasa. Mungkin, karena kedirian duniawi telah ditanggalkan. Semuanya. Hanya keagungan Allah yang dirasa. Sebagaimana haji disebut Qur’an, min sya’âirillah. Termasuk syi’âr (tanda-tanda agama dan ibadah) Allah. Syi’âr seakar kata dengan syu’ûr, yang berarti rasa. Karena memang sudah seharusnya, tulis Quraish Shihab dalam al-Mishbah, syi’âr menghasilkan syu’ûr. Tanda menghasilkan rasa. Rasa hormat dan pengagungan kepada Allah SWT.
Selamat menunaikan ibadah haji, bro. Hajjan mabrûra. Wa sa’yan masykûra. Wa tijaratan lan tabûra. Jangan lupa do’akan aku di Multazam. Agar segera menyusulmu. Merasakan keagungan-Nya di dalam haji. Semoga. Amin…[]
Joyosuko Metro, 12 Juli 2019.
Comments
Post a Comment