“Maafkan aku, Pak!” tulis Yuk Ni melalui telepon pintar dalam satu chattingan.
“Maaf untuk apa?” balas Kang Man, singkat.
“Maaf atas semua keputusanku di masa lalu yang barangkali menyisakan rasa sakit di hatimu”
“Hehehehe” tulis Kang Man sambil menambahkan icon kepala botak dengan mulut terbuka lebar tanda tertawa.
“Mengapa tertawa? Saya serius, Pak! Please deh!”
“Saya juga serius, Bu!”
“Serius apa? La wong tertawa begitu?”
“Ya, serius menertawakan masa lalu kita”
“Tetapi, apa salahnya kalau saya meminta maaf?”
“Tidak ada salahnya. Tetapi bagiku, tidak perlu”
“Mengapa?”
“Karena tidak ada yang salah dengan keputusanmu terhadapku di masa lalu yang perlu dimintakan maaf”
“Tetapi kan Bapak pasti sakit hati karenanya. Ngaku, hayoo..”
“Benar, jujur saya tidak mau munafik. Ada sakit kala itu..”
“Lha kan? Benar..”
“Sakit dan salah adalah dua hal yang berbeda. Salah harus dimintakan maaf, tetapi sakit… Justru di sinilah saya harus berterima kasih kepada ibu”
“Kepadaku?”
“Iya!”
“Untuk apa?”
“Karena telah sudi menjadi media Tuhan dalam mengajariku tentang mencinta yang semestinya..”
“Maksudnya?”
“Dengan sakit itulah Tuhan mengajariku bagaimana mampu mencintai sesama secara tulus dalam modus “menjadi”, dan bukan “memiliki”. Dan al-Hamdulillah saya mampu menjadi pebelajar yang baik, sehingga bisa berdamai dengan masa lalu”
“Buktinya, apa?”
“Ya, sekarang ini. Kita bisa bersahabat, bersaudara. Saling membantu dan menginspirasikan kebaikan. Termasuk bisa cekakak-cekikik tanpa beban, tanpa ada kepentingan apapun saat melihat masa lalu. Dan yang lebih penting lagi….”
“Apa itu?”
Comments
Post a Comment