Skip to main content

BERDAMAI


“Maafkan aku, Pak!” tulis Yuk Ni melalui telepon pintar dalam satu chattingan.

“Maaf untuk apa?” balas Kang Man, singkat.

“Maaf atas semua keputusanku di masa lalu yang barangkali menyisakan rasa sakit di hatimu”

“Hehehehe” tulis Kang Man sambil menambahkan icon kepala botak dengan mulut terbuka lebar tanda tertawa.

“Mengapa tertawa? Saya serius, Pak! Please deh!

“Saya juga serius, Bu!”

“Serius apa? La wong tertawa begitu?”

“Ya, serius menertawakan masa lalu kita”

“Tetapi, apa salahnya kalau saya meminta maaf?”

“Tidak ada salahnya. Tetapi bagiku, tidak perlu”

“Mengapa?”

“Karena tidak ada yang salah dengan keputusanmu terhadapku di masa lalu yang perlu dimintakan maaf”

“Tetapi kan Bapak pasti sakit hati karenanya. Ngaku, hayoo..

“Benar, jujur saya tidak mau munafik. Ada sakit kala itu..”

“Lha kan? Benar..” 

“Sakit dan salah adalah dua hal yang berbeda. Salah harus dimintakan maaf, tetapi sakit… Justru di sinilah saya harus berterima kasih kepada ibu”

“Kepadaku?”

“Iya!”

“Untuk apa?”

“Karena telah sudi menjadi media Tuhan dalam mengajariku tentang mencinta yang semestinya..”

“Maksudnya?”  

“Dengan sakit itulah Tuhan mengajariku bagaimana mampu mencintai sesama secara tulus dalam modus “menjadi”, dan bukan “memiliki”. Dan al-Hamdulillah saya mampu menjadi pebelajar yang baik, sehingga bisa berdamai dengan masa lalu”

“Buktinya, apa?”

“Ya, sekarang ini. Kita bisa bersahabat, bersaudara. Saling membantu dan menginspirasikan kebaikan. Termasuk bisa cekakak-cekikik tanpa beban, tanpa ada kepentingan apapun saat melihat masa lalu. Dan yang lebih penting lagi….”

“Apa itu?”

“Tidak tersandra oleh masa lalu itu!”[] 

Joyosuko Metro, 2 Januari 2017

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...