Di kampungku, ia biasa dipanggil Mbah Jiman. Nama aslinya Abdurrahman. Sejak dalam kandungan ia mungkin ditakdirkan dari keluarga kaya. Tidak heran jika umur sepuluh tahun ia telah dihajikan oleh orangtuanya, sehingga tersematlah sebutan kaji di deretan namanya: Kaji Abdurrahman. Biasa, untuk enaknya, teman sepermainan lalu memanggilnya dengan nama pendek “Jiman”.
Kata banyak orang, harta warisan biasanya jarang bisa berkembang di tangan ahli waris. Kalau orang tua atau pewaris tak berhasil mendidik anak-anaknya menjadi berkeadaban, biasanya harta warisan yang ditinggalkan ludes karena diperebutkan.
Demikian pula, jika beruntung sang pewaris bisa menghantarkan anak-anaknya menjadi para shalihin yang beradab, kebanyakan secara kasat mata harta warisan setelah dibagi juga tidak mampu dikembangkan secemerlang orangtuanya.
Kang No, tetanggaku yang pernah kuliah mengatakan: “Semua anak mewarisi DNA orangtuanya, tetapi belum tentu mewarisi pula takdirnya”. Kang Lim, tetanggaku yang guru bilang: “Makanya, wariskanlah kepada anakmu akhlak dan etos hidup yang baik, karena ia membawa nasibnya sendiri-sendiri”.
Namun, dalam pandangan lahiriyah orang sekampungku, bisa jadi Mbah Jiman termasuk di antara sedikit manusia, yang diuji dengan kenikmatan hidup sejak balita tetapi berhasil melewatinya sampai senja. Orang tuanya kaya raya, meninggalkan warisan berlimpah, dan ia mampu mengembangkannya sedemikian rupa.
Suatu ketika saat lenyeh-lenyeh bersandar tiang mushola seusai berjama’ah asar pernah saya tanyakan tentang resep hidupnya, ia malah cengengesan menjawab: “Dul, kamu sekadar ingin tahu, atau ingin tahu bingit?”
“Ealah… Mbah, wis tuwek, jo guyon! Serius iki!” selorohku ketus.
Mbah Jiman malah terkekeh melihat ekspresi wajahku sambil berujar: “La wong hidup hanya begini, kok kamu bilang sukses. Sukses dari Hongkong? Hehehe”
Memang tidak mudah mengorek “daleman” orang tua ini. Gayanya santai. Suka bercanda. Wajahnya selalu sumringah, seperti tidak mengenal rasa takut atau nestapa. Tidak suka dikenal orang, selalu menghindar untuk tampil di depan, padahal di dalam organisasi sosial-keagamaan di kampungnya ia memiliki peranan sangat besar.
Hidupnya bersahaja. Baju yang disandang biasa-biasa saja. Demikian pula bangunan rumahnya, tidak menunjukkan kalau ia orang kaya. Padahal investasi tanahnya di mana-mana; tambak udangnya luas dan terus bertambah; kapal-kapal pencari ikannya selalu melaut tanpa lelah; usaha pembibitan benurnya tak pernah sepi pelanggannya; mini dan supermarketnya pun buka 24 jam lamanya. Tetapi kalau ketemu kakek ini, mungkin orang yang tidak kenal akan tega menyepelehkannya.
Setiap hari ia mudah ditemukan di tengah jama’ah shalat wajib. Saat Subuh, paling awal ia memarkir Honda70 kesayangannya di teras musholla. Bahkan tak jarang ia yang mengadzani subuh saat para marbot masih pulas mendengkur. Hampir semua orang tahu, kalau masjid, mushola, panti yatim, panti jompo, madrasah, pesantren di daerahnya pasti pernah menerima bantuan Mbah Jiman dan mencatat namanya sebagai donatur tetap.
Tetapi kalau diajak diskusi atau sekadar ngobrol tentang hidup, selalu ia menahan diri untuk tidak banyak bicara. Padahal sesungguhnya latar belakang pendidikan Mbah Jiman tidak bisa dianggap sebelah mata, tentu ia akan sangat mampu menjelaskannya secara runtut, sophisticated dan berbusa-busa penuh bangga.
Menurut Mbah Jakur, teman seangkatannya, pendidikan dasar Mbah Jiman dihabiskan di pesantren. S1 dan S2nya diperoleh dari Timur-tengah. Karena itu, ngaji kitabnya tak bisa diremehkan. Konon, di rumahnya ada ruangan khusus yang menjadi perpustakaan pribadi. Namun selalu saja, ia tidak gampang berbicara agama dengan lisannya. Ia sangat berhati-hati untuk tidak dianggap sebagai pakar, ahli, ataupun sekadar ustadz. Ia lebih nyaman sebagai orang biasa yang lebih banyak berujar lewat laku kehidupannya.
Hanya sekali saya mendengar ia pernah berucap, mungkin keceplosan karena kepepet: “Jalani saja hidup ini dengan goblok”.
Terperanjat saya mendengarnya. Selama ini banyak motivator yang memberikan tausiah bahwa hidup harus dijalani dengan cerdas. Bahkan ada buku yang terang-terang berjudul “Jangan Goblok Menjalani Hidup”, Mbah Jiman justru memberikan resep sebaliknya.
Secepatnya saya tanyakan perihal pernyataannya itu. Tetapi lagi-lagi, dengan sedikit cengengesan ia menjawab: “Dul, perkataan orang goblok, mbok jangan didengarkan”.
“Biyuh… gagal maning!” sambil kutepok jidatku. Namun rasa kepo-ku tentang resep hidup Mbah Jiman terus menggelora. Suatu saat pasti aku mampu memahami maknanya.[]
Joyosuko Metro, 11 Januari 2017
Comments
Post a Comment