Skip to main content

MBAH JIMAN [1]


Di kampungku, ia biasa dipanggil Mbah Jiman. Nama aslinya Abdurrahman. Sejak dalam kandungan ia mungkin ditakdirkan dari keluarga kaya. Tidak heran jika umur sepuluh tahun ia telah dihajikan oleh orangtuanya, sehingga tersematlah sebutan kaji di deretan namanya: Kaji Abdurrahman. Biasa, untuk enaknya, teman sepermainan lalu memanggilnya dengan nama pendek “Jiman”.

Kata banyak orang, harta warisan biasanya jarang bisa berkembang di tangan ahli waris. Kalau orang tua atau pewaris tak berhasil mendidik anak-anaknya menjadi berkeadaban, biasanya harta warisan yang ditinggalkan ludes karena diperebutkan.

Demikian pula, jika beruntung sang pewaris bisa menghantarkan anak-anaknya menjadi para shalihin yang beradab, kebanyakan secara kasat mata harta warisan setelah dibagi juga tidak mampu dikembangkan secemerlang orangtuanya. 

Kang No, tetanggaku yang pernah kuliah mengatakan: “Semua anak mewarisi DNA orangtuanya, tetapi belum tentu mewarisi pula takdirnya”. Kang Lim, tetanggaku yang guru bilang: “Makanya, wariskanlah kepada anakmu akhlak dan etos hidup yang baik, karena ia membawa nasibnya sendiri-sendiri”.

Namun, dalam pandangan lahiriyah orang sekampungku, bisa jadi Mbah Jiman termasuk di antara sedikit manusia, yang diuji dengan kenikmatan hidup sejak balita tetapi berhasil melewatinya sampai senja. Orang tuanya kaya raya, meninggalkan warisan berlimpah, dan ia mampu mengembangkannya sedemikian rupa. 

Suatu ketika saat lenyeh-lenyeh bersandar tiang mushola seusai berjama’ah asar pernah saya tanyakan tentang resep hidupnya, ia malah cengengesan menjawab: “Dul, kamu sekadar ingin tahu, atau ingin tahu bingit?”

“Ealah… Mbah, wis tuwek, jo guyon! Serius iki!” selorohku ketus.

Mbah Jiman malah terkekeh melihat ekspresi wajahku sambil berujar: “La wong hidup hanya begini, kok kamu bilang sukses. Sukses dari Hongkong? Hehehe”

Memang tidak mudah mengorek “daleman” orang tua ini. Gayanya santai. Suka bercanda. Wajahnya selalu sumringah, seperti tidak mengenal rasa takut atau nestapa. Tidak suka dikenal orang, selalu menghindar untuk tampil di depan, padahal di dalam organisasi sosial-keagamaan di kampungnya ia memiliki peranan sangat besar. 

Hidupnya bersahaja. Baju yang disandang biasa-biasa saja. Demikian pula bangunan rumahnya, tidak menunjukkan kalau ia orang kaya. Padahal investasi tanahnya di mana-mana; tambak udangnya luas dan terus bertambah; kapal-kapal pencari ikannya selalu melaut tanpa lelah; usaha pembibitan benurnya tak pernah sepi pelanggannya; mini dan supermarketnya pun buka 24 jam lamanya. Tetapi kalau ketemu kakek ini, mungkin orang yang tidak kenal akan tega menyepelehkannya.

Setiap hari ia mudah ditemukan di tengah jama’ah shalat wajib. Saat Subuh, paling awal ia memarkir Honda70 kesayangannya di teras musholla. Bahkan tak jarang ia yang mengadzani subuh saat para marbot masih pulas mendengkur. Hampir semua orang tahu, kalau masjid, mushola, panti yatim, panti jompo, madrasah, pesantren di daerahnya pasti pernah menerima bantuan Mbah Jiman dan mencatat namanya sebagai donatur tetap.

Tetapi kalau diajak diskusi atau sekadar ngobrol tentang hidup, selalu ia menahan diri untuk tidak banyak bicara. Padahal sesungguhnya latar belakang pendidikan Mbah Jiman tidak bisa dianggap sebelah mata, tentu ia akan sangat mampu menjelaskannya secara runtut, sophisticated dan berbusa-busa penuh bangga. 

Menurut Mbah Jakur, teman seangkatannya, pendidikan dasar Mbah Jiman dihabiskan di pesantren. S1 dan S2nya diperoleh dari Timur-tengah. Karena itu, ngaji kitabnya tak bisa diremehkan. Konon, di rumahnya ada ruangan khusus yang menjadi perpustakaan pribadi. Namun selalu saja, ia tidak gampang berbicara agama dengan lisannya. Ia sangat berhati-hati untuk tidak dianggap sebagai pakar, ahli, ataupun sekadar ustadz. Ia lebih nyaman sebagai orang biasa yang lebih banyak berujar lewat laku kehidupannya. 

Hanya sekali saya mendengar ia pernah berucap, mungkin keceplosan karena kepepet: “Jalani saja hidup ini dengan goblok”.

Terperanjat saya mendengarnya. Selama ini banyak motivator yang memberikan tausiah bahwa hidup harus dijalani dengan cerdas. Bahkan ada buku yang terang-terang berjudul “Jangan Goblok Menjalani Hidup”, Mbah Jiman justru memberikan resep sebaliknya. 

Secepatnya saya tanyakan perihal pernyataannya itu. Tetapi lagi-lagi, dengan sedikit cengengesan ia menjawab: “Dul, perkataan orang goblok, mbok jangan didengarkan”.

Biyuh… gagal maning!” sambil kutepok jidatku. Namun rasa kepo-ku tentang resep hidup Mbah Jiman terus menggelora. Suatu saat pasti aku mampu memahami maknanya.[]

Joyosuko Metro, 11 Januari 2017

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...