Skip to main content

MENJADI ATAU MEMILIKI?


Membaca tulisan pendek Mardigu WP yang berjudul “INGIN AWET KAYA? Apa bedanya manusia yang “the have” dengan “the rich”?” mengingatkanku akan bukunya Erich Fromm, seorang psikoanalis sosial dari Jerman, yang berjudul To Have and To Be.

Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia oleh LP3ES. Saya mendapatkannya tahun 1996 di pasar buku bekas “Blok M”. Sebutan di kalangan mahasiswa saat itu untuk pasar ini. Diambil dari huruf pertama nama jalan di mana pasar ini berada, Jl. Majapahit, Kota Malang. Bersebelahan dengan pasar ikan, burung dan binatang, Splendid.


Sekarang pasar buku seken ini dipindah ke Jl. Wilis. Pelapak langgananku ternyata juga ikut boyongan. Pak Nardi Namanya. Hingga saat ini masih jualan. Dua bulan yang lalu, saat aku mampir ke lapaknya, tampak ia mulai mengkader anak terakhirnya sebagai pelanjut. Darinyalah dahulu aku membeli buku Fromm ini. Bersama bukunya Bung Karno “Di Bawah Bendera Revolusi”. Juga beraneka edisi jadul majalah Prisma LP3ES, yang bagiku, mahasiswa PAI semester 5 saat itu, adalah bacaan berat.

Jadi kangen buku kecil ini. Sayang saya cari di deretan rak perpus kecilku, belum ketemu. Ada rasa ingin nostalgia. Tentang asbabul wurud yang menyertai perjumpaanku dengan buku ini dan bagaimana ia mempengaruhi persepsi dan cara-pandangku tentang hidup dan kehidupan.

Saat mahasiswa S1 dulu, memang hampir tiap Sabtu dan Ahad, jika tiada kegiatan di kampus, aku selalu kelayapan ke Blok M. Tepatnya sebagai “intiqam”. Balas dendam. Juga sebagi tempat pelarian yang indah bagi mahasiswa pas-pasan sepertiku.

Pertama, dendam yang lahir karena penyesalan. Buah dari kesadaran yang terlambat: Mengapa saat di redaksi Itqon, majalah santri Gontor, dahulu, di mana saya hidup bersama para santri kutu buku dan penulis, saya hanya berperan sebagai lay-outer dan tukang gambar semata. Tidak ikut-ikutan membaca, berdiskusi dan menulis. Dan saat kuliah, tuntutan membaca dan menulis benar-benar baru terasa.

Kedua, keinginan membeli buku anyar terasa berat bagiku. Kiriman bulanan dari orangtua untuk makan saja kadang tidak cukup. Maka “Blok M” lah menjadi alternatif untuk mendapatkan bacaan yang murah. Dan bersama itu. Ini barangkali yang menjadi triger terkuatnya. Kesadaran akan diri yang pas-pasan dari sisi paras dan penampilan, juga modal keterampilan berkomunikasi terutama dengan sobat mahasiswi.

Ketika teman-teman mahasiswa di Sabtu Ahad pada sibuk ngapeli pacar. Atau mungkin sekedar berTTM (teman tapi mesra). Maka saya lebih memilih Blok M sebagai alternatif yang dituju. Cukup denga duit Rp. 100, naik angkutan kota ADL [Arjosari-Dinoyo-Landungsari], turun di Kayutangan. Jalan kaki sedikit sudah masuk ujung Jalan Majapahit. Jika merasa letih menscening judul buku, atau capek hati karena dicueki penjual (akibat lihat-lihat doang, tanpa membeli), saya tinggal turun ke pasar hewan. Menyaksikan indahnya aneka burung dan ikan, termasuk tingkah lucu ponakan Charles Darwin, yakni anak-anak monyet.

Oh ya, kembali ke buku Erich Fromm, dalam kaitannya dengan tulisan Mardigu. 


Mardigu, dalam tulisannya, mempertegas perbedaan antara "the have" dan "the rich" dilihat dari bagaimana mendapatkan kekayaan dan mempertahankannya. Manusia tipe pertama ialah yang mendapatkan kekayaan melalui jalan curang, korup dan culas. Sedang tipe kedua ialah yang memperoleh kekayaan melalui jalan halal, jerih payah, banting tulang, dan penuh pengorbanan.

Di paragraf terakhir, Mardigu mengingatkan: "Setahu pengalaman pribadi saya, seberapapun besar asset anda selama anda the have, bisa nggak sustain, tidak everlast, tidak awet. Bisa hilang."

Sedangkan Fromm menempatkan “to have” berhadapan dengan “to be” sebagai modus, sikap, dan cara pandang untuk eksis dalam melakoni hidup. Banyak di antara kita yang terjebak dalam modus memiliki (to have). Memperturutkan ego untuk memiliki segalanya. Serasa bahagia itu ada ketika memiliki. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Betapa banyak orang yang memiliki rumah mewah bertingkat. Mobilnya berjejer mengkilat. Istrinya cantik bahkan berjumlah empat. Kekayaannya oleh tujuh turunan tak habis diembat. Namun tetap saja, ketika naik Mercy matanya mbrebes mili. Namun tetap saja tidur tak bisa nyenyak walau di kasur mewah mentul-mentul dengan pir berkualitas nan banyak.
Justru realitasnya, bahagia itu ada, menurut Fromm, ketika seseorang dalam modus menjadi (to be). Menjadi manusia yang sesungguhnya dengan kualitas diri (karakter, akhlaq) yang terbaik. Selalu mencinta dan berbagi kepada sesama dan lingkungannya.

Dan pengamatan saya menunjukkan, ada banyak orang yang menikmati (bahagia) walaupun tidak memiliki. Apakah Anda juga sering merasa begitu? Bersyukurlah, jika demikian[].

Joyosuko Metro, 25 Desember 2019.

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...