Skip to main content

TAKUT


Angka terpapar Covid kembali melejit. Ketika kondisi Indonesia belum benar-benar pulih. Kali ini, menurut ahli, variannya baru: Delta India. Konon, daya serangnya lebih cepat dari varian sebelumnya. Wallahu a’lam, apakah kondisi ini sengaja “diciptakan” oleh tangan-tangan jahat atau hadir secara alamiah. Yang jelas, bagi Kang Tejo, saat ini dipaksa percaya: Covid ini nyata, ada. 

Bagaimana tidak? Satu persatu sahabatnya, tetangganya, saudaranya, tumbang dengan gejala yang sama: Demam, batuk, sakit tenggorokan, sesak nafas, hilang penciuman/perasa, dan hilang nafsu makan. Lalu tidak berselang lama, mereka yang baru kemarin dijenguknya, pergi dan tak kan pernah kembali: Allah yarham. 


Setiap hari, Kang Tejo mendapati selalu saja ada yang wafat di kampungnya. Bahkan, dalam sehari pernah mencapai rekor: 7 orang meninggal hampir bersamaan. Pak Modin kelelahan. Nisan kuburan menjadi langka di pasaran. 

Kenyataan ini menggedor kesombongan yang selama ini angkuh berdiri di benak Kang Tejo. Ia yang selama ini tidak mau bermasker. Bahkan membully dengan ucapan “kopat-kopit”. Yang meyakini Covid hanyalah bualan semata, terpaksa “ngelokro” tak berdaya. Ketakutan.  

Ya, memang. Seringkali ujung dari segala keangkuhan sebenarnya adalah ketakutan. Namun sayangnya, belum sampai ke ujung itu, kita sudah dimatikan. Atau, mungkin terpaksa sampai ke ujung, ketakutan, tetapi terlambat sudah. Seperti kisah Fir’aun di zaman Musa as. Keangkuhannya dipaksa berujung pada takut tenggelam dilibas gelombang lautan. Ia pun mengakui Tuhannya Musa. Namun, terlambat sudah. Maka, berbahagialah kita, orang semacam Kang Tejo. Masih diberi kesempatan untuk kembali merendahkan hati, walau dengan cara dipaksa via takut.      

Rasul SAW pernah mengingatkan: “Keangkuhan [kesombongan] itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia” [HR. Muslim: 91]. Jangan-jangan kita sudah termasuk di sini. Tidak mudah lapang dada, menerima nasihat kebenaran. Walau nasihat itu diperlihatkan langsung di depan mata kita: fenomena kematian masal. Maka ketakutan Kang Tejo dan kita yang sepertinya, mudah-mudahan menjadi biji dari nasihat itu. Yang tumbuh membuahkan kedisiplinan dalam berikhtiar menghadapi pandemi ini, dan tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah SWT. Ketakutan dalam konteks seperti ini bisa jadi merupakan pangkal kearifan. Wallahu a’lam.[]

Joyosuko Metro, 29 Juni 2021

Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...