Skip to main content

SEKALI MERDEKA, YO TETEP MERDEKA


Nama aslinya Merdeka. Karena ia orang Jawa, dipanggil Eka terasa kurang jawani. Jadinya oleh teman-teman sepermainan dipanggil Eko, begitu saja. Simpel tur lugas. Konon ia lahir pas tanggal 17 Agustus, di saat ibunya yang pegawai kantor kecamatan sedang mengikuti upacara bendera. Tiba-tiba perutnya yang hamil besar, mules dan terasa akan melahirkan. Segera dibopong oleh kawan-kawannya ke kantor dan dipanggilkan bidan. Namun, sebelum juru bantu-lahir tersebut datang, ternyata sang jabang bayi mbrojol duluan. Sedikit gemparlah kantor kecamatan dan orang-orang yang sedang upacara di depannya. Sepertinya, sang jabang bayi ingin juga memperingati hari kemerdekaan negaranya. Untuk mengingat itu, lalu orangtuanya menamai ia dengan asma: "Merdeka". Simpel, gampang diingat tur berkarakter.

Namun, tak selamanya nama berbanding lurus dengan kenyataan nasibnya. Kang Eko hari ini, tepat pada hari ulangtahunnya, harus meringkuk di tahanan polsek setempat, dengan tuduhan yang tidak remeh: menghina simbol negara. Nama boleh merdeka, namun kebebasannya saat ini terpenjara.

***

“Apakah Kang Eko telah mengucapkan ujaran atau tulisan penghinaan kepada presiden?” tanyaku pada Yuk Tin, isteri Kang Eko, saat malam hari kujenguk bersama Lik Pon di rumahnya.

“Tidak” jawab Yuk Tin.

“Menginjak-nginjak bendera merah putih, misalnya?”

“Tidak”

“Menambah tulisan La ilaha illa Allah pada simbol negara itu?”

“Tidak”

“Memelesetkan lirik Indonesia Raya?”

“Tidak”

“Lalu apa sebabnya, Yuk..??” tanyaku penasaran.

Sambil menahan sedih juga geli, Yuk Tin berkata: “Pagi tadi Kang Eko mungkin terlalu bersemangat merayakan ulangtahun kemerdekaan RI hingga menyanyikan lagu Indonesia Raya di sungai belakang rumah…” 

“Apakah salah, menyanyikan Indonesia Raya di sungai?” tanyaku, menghentikan ucapan Yuk Tin.

“Bukan itu sebab Kang Eko ditangkap”

“Lalu apa, Yuk?” desakku.

“Menyanyikannya sambil buang hajat” jawab Yuk Tin, singkat. 

Hampir saja saya meledak dalam tawa, jikalau tidak segera kubungkam ini mulut. Kulirik Lik Pon juga senyam-senyum, ngempet. Baru kali ini saya menemukan ada orang menyanyikan lagu kebangsaan sambil berindehoi di jamban atas sungai. 

“Tetapi” kata Lik Pon sepontan pada Yuk Tin, “Terlepas dari sopan tidaknya, pantas tidaknya cara ia mengekspresikan, sepertinya Kang Eko adalah pecinta sejati NKRI”

“Jangan ngawur Sampean, Pon! Atau tidak perlulah menghibur diriku”sanggah Yuk Tin sambil mengusap matanya yang lembab, “Mana ada, orang didakwah menghina lambang negara kok sejatinya pecinta Negara?”

Pertama" jawab Lik Pon memberi alasan, "Siapa yang sedang mencinta banyaklah ia menyebut kekasihnya. Eksistensi sang kekasih sudah me-wihdatil wujud di dalam dirinya. Sehingga di manapun dan bersama siapapun ia selalu merasa berkesadaran akan objek cintanya. Kalau sudah begitu, maka hatinya, lisannya, gerakannya sudah tidak terikat dengan kondisi dan suasana. Saya yakin, bagi Kang Eko, lantunan Indonesia Raya adalah ungkapan cintanya. Dan tidak harus terikat dengan suasana formal di gedung DPR, istana Negara, balai pertemuan atau lapangan upacara, tapi juga di ruang dan dalam suasana yang sangat pribadi seperti kamar kecil.."

"Walah.. Jan ngawur tenan awakmu, Pon!" Ujar Yuk Tin sedikit nyengir, setengah tidak percaya.

Kedua" lanjut Lik Pon bersemangat, "tiada yang lebih ikhlas dari orang yang sedang buang hajat. Ia memberi sesuatu tetapi merasa tidak kehilangan, bahkan sangat senang sekali. Plong, bisa menyalurkan, dan itu dorongan dari dalam"

"Terus.. hubungannya apa, Lik, sama Kang Eko?" Tanyaku.

"Dengan menyanyikan lagu kebangsaan saat BAB, Kang Eko ingin menunjukkan bahwa mencintai NKRI itu mesti ikhlas. Tidak pamrih. Tidak Koyok-koyoke paling NKRI. Mulutnya lantang berteriak-teriak ‘Aku Semprul, Aku Indonesia’, eh ternyata ada kepentingan golongan, ada kepentingan kelompok, ada kepentingan pribadi di dalamnya.."

“Masalahnya, Pon…” potong Yuk Tin, “tetap saja alasan seperti itu tidak bisa menghalangi suamiku dari dakwaan menghina lambang negara..”

“Iya, sih… tapi setidaknya bangsa ini bisa belajar..” ujar Lik Pon.

“Belajar apa? Belajar menikmati kehilangan?” bantah Yuk Tin, lalu meledaklah tangisnya mengingat sampai malam begini Kang Eko tidak kunjung pulang. 

***

Assalamu’alaikum” tiba-tiba terdengar suara Kang Eko dari luar pintu. 

Setengah tidak percaya, seisi rumah saling berpandangan lalu cepat bergegas keluar. Tampak Kang Eko berdiri sumringah. Wajahnya berseri, tidak tampak ada bekas tanda-tanda ketakuan. Yuk Tin melihat suaminya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Utuh. Tak ada yang cuil sedikitpun. Hilang sudah dari benaknya ingatan buruk tentang drama penangkapan suaminya pagi tadi yang penuh tembakan dan kejar-kejaran. Lekas ia memeluk suaminya, erat sekali, sambil air matanya bercucuran. Bahagia.

“Bagaimana Kang?” tanyaku setelah emosi Yuk Tin mereda.

“Bagaimana apanya, Dul?” jawab Kang Eko balik bertanya.

“Rasanya meringkuk di Polsek” 

“Siapa yang ditahan?”

“Lha, tadi pagi Sampean ditangkap dan ditahan, begitu loh?” desakku.

“Saya tidak ditahan, Dul. Tapi dijemput dengan penuh kehormatan”

“Ah, masak?” Sanggahku tidak percaya.

Swear, diewer-ewer…” jawabnya, sambil mengangkat dua jari: telunjuk dan tengah, membentuk huruf V. 

Untuk apa Sampean dijemput dengan penuh kehormatan, coba?” tanyaku penasaran.

“Untuk memberi kuliah pagi”

“Kuliah pagi? Tentang apa, Kang?”

“Internalisasi Nilai-nilai BAB dalam Bela Negara: Tinjauan Filosofis-praktis” jawabnya, mantap. Dan kami pun pura-pura percaya.[]

Joyosuko Metro, ditulis 10 Agustus 2017, ditemukan dan diedit ulang 16 Agustus 2021.




Comments

Popular posts from this blog

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastika...

RÛHUL MUDARRIS

Mungkin karena saya bersinggungan dengan dunia pembelajaran, jadinya ujaran ini selalu terpapar di depan mata. Beliau,   Ab â n â   KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, yang mendawuhkannya saat memberi   tawjihat   sebelum   amaliyatut tadris   (Program Praktik Mengajar bagi kelas VI KMI). Mungkin saat itu saya belum begitu paham, namun tetap saja saya tulis di buku harianku. Karena saya yakin, kearifan itu berproses. Mengabadi bersama berkembangnya nalar insani. Saat itu, beliau   Ab â n â   dawuh: “ Ath-Thar î qatu ahammu minal m â ddah. Wal Mudarrisu ahammu minath thar î qah. Wa r û hul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih ”. Kalimat pertama sangat popular di ranah pendidikan. Entah siapa yang pertama menginisiasi, serasa telah menjadi teori yang tidak terbantahkan. Bahwa “strategi atau metode (mengajar), termasuk di dalamnya media/alat peraga, lebih penting daripada pesan pelajaran”. Inilah barangkali yang menjadi pemicu perkembangan ilmu pembelaja...

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdeng...