Skip to main content

Posts

SEKALI MERDEKA, YO TETEP MERDEKA

Recent posts

PAK E.. PAK E… (MEMOAR INDAH DI BKSM GONTOR)

Oleh: Faruq Jamaluddin Malik (Ustadz di PP. Darul Ukhuwwah, Malang) Di antara prinsip belajar-pembelajaran yang ditekankan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor [PMDG] sejak dulu kala adalah apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukan oleh santri haruslah bernilai pendidikan. Mungkin itulah yang oleh orang sekarang diteoresasikan dengan istilah   learning by doing, experiential learning , dan semacamnya. Dari itu, semua santri Gontor, termasuk santri senior yakni alumni yang ditugasi mengabdi sebagai ustadz seperti saya, juga diperankan, diberi “panggung” untuk merasakan langsung prinsip   life-based learning   di atas. Dan di antara “panggung” itu buat saya adalah menjadi “ mas’ul ” [penanggungjawab] di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat [BKSM], selain tetap harus mengajar dalam peran sebagi ustadz. Hari itu, jam mengajar saya setelah istirahat pertama. Karenanya, paginya saya gunakan untuk membersihkan dan menyirami taman bunga di area BKSM. Tiba-tiba terdengar seorang ibu

TAKUT

Angka terpapar Covid kembali melejit. Ketika kondisi Indonesia belum benar-benar pulih. Kali ini, menurut ahli, variannya baru: Delta India. Konon, daya serangnya lebih cepat dari varian sebelumnya.   Wallahu a’lam , apakah kondisi ini sengaja “diciptakan” oleh tangan-tangan jahat atau hadir secara alamiah. Yang jelas, bagi Kang Tejo, saat ini dipaksa percaya: Covid ini nyata, ada.   Bagaimana tidak? Satu persatu sahabatnya, tetangganya, saudaranya, tumbang dengan gejala yang sama: Demam, batuk, sakit tenggorokan, sesak nafas, hilang penciuman/perasa, dan hilang nafsu makan. Lalu tidak berselang lama, mereka yang baru kemarin dijenguknya, pergi dan tak kan pernah kembali:   Allah yarham .   Setiap hari, Kang Tejo mendapati selalu saja ada yang wafat di kampungnya. Bahkan, dalam sehari pernah mencapai rekor: 7 orang meninggal hampir bersamaan. Pak Modin kelelahan. Nisan kuburan menjadi langka di pasaran.   Kenyataan ini menggedor kesombongan yang selama ini angkuh berdiri di benak Kang

MENJADI ATAU MEMILIKI?

Membaca tulisan pendek Mardigu WP yang berjudul “INGIN AWET KAYA? Apa bedanya manusia yang “ the have ” dengan “ the rich ”?” mengingatkanku akan bukunya Erich Fromm, seorang psikoanalis sosial dari Jerman, yang berjudul To Have and To Be. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia oleh LP3ES. Saya mendapatkannya tahun 1996 di pasar buku bekas “Blok M”. Sebutan di kalangan mahasiswa saat itu untuk pasar ini. Diambil dari huruf pertama nama jalan di mana pasar ini berada, Jl. Majapahit, Kota Malang. Bersebelahan dengan pasar ikan, burung dan binatang, Splendid. Sekarang pasar buku seken ini dipindah ke Jl. Wilis. Pelapak langgananku ternyata juga ikut boyongan. Pak Nardi Namanya. Hingga saat ini masih jualan. Dua bulan yang lalu, saat aku mampir ke lapaknya, tampak ia mulai mengkader anak terakhirnya sebagai pelanjut. Darinyalah dahulu aku membeli buku Fromm ini. Bersama bukunya Bung Karno “Di Bawah Bendera Revolusi”. Juga beraneka edisi jadul majalah Prisma LP3ES, yang bagiku,

LIBURAN ASYIK BERSAMA KELUARGA

Penulis: Riri Yunisman (Pengusaha)  Liburan dan mengikuti sebuah trip telah menjadi sebuah kebutuhan utama saat ini. Berbagai wahana serta moda transportasi dengan segala kemudahannya seakan berlomba memberikan penawaran yang tiada henti untuk memanjakan para   traveller . Berbagai media social juga tak mau ketinggalan untuk mendukung para traveller dalam mengungkapkan rasa suka cita mereka. Ulasan tentang tempat dan wahana hiburanpun tumbuh subur di dunia maya. Sehingga, sebuah perjalanan yang beribu ribu kilometer menjadi mudah dan bisa diorganisir dengan baik. Sebagian traveler lebih suka berpergian ala “ solo traveler ”, karena dinilai lebih praktis dan anti ribet. Namun, menurut kami keikutsertaan anak-anak akan lebih menghidupkan suasana liburan. Canda tawa dan polah anak-anak akan menjadikan liburan semakin semarak dan penuh warna. Di samping itu, pengalaman di saat kecil akan jauh lebih berkesan dan melekat bagi anak dalam pembentukan karakter dan kemandirian. Tentunya orang t

SEPATU BUTUT ANAKKU DAN TITAH KESEDERHANAAN ALA GONTOR

Penulis: Abdul Matin Bin Salman (Wali Santri Gontor & Warek I IAIN Surakarta) Sejak awal, saya tidak terlalu menekankan anakku diterima sebagai santri Gontor. Prinsip saya, seusai pendidikan dasar, anak-anak saya harus melanjutkan ke pesantren. Pesantren apapun itu. Karena saya yakin, tidak ada pesantren yang mendidik santrinya dengan cara yang tidak benar. Tidak mudah memang, menjadi orangtua di zaman   now . Banyak kendala waktu mendidik anak secara privat. Terlebih di zaman ketika teknologi telah merenggut banyak kesempatan kita untuk mendidik mereka secara langsung. Bahkan, sekalipun anak-anak bersama orangtua 24 jam, seringkali minim “kebersamaan” di antara mereka. Fisik memang terlihat dekat, tetapi hati dan pikiran saling berjauhan. Kekhawatiran itu semakin memuncak, ketika melihat fenomena kehidupan anak-anak seperti saat ini. Nama anakku Wael. Dia sekarang duduk di kelas IV Gontor I. Suatu hari, tepatnya tanggal 29-30 Desember 2018, kami sekeluarga mengunjunginya. Meski d

JRÉNG! DAN JADILAH ORANG BESAR ALA GONTOR

Sudah sepekan. Dia tidak hadir di mushola. Padahal, sebelum adzan Magrib biasanya ia sudah tiba. Ditemani sepeda mini milik cucunya. Atau motor butut, Suzuki Bravo miliknya. Saya jadi bertanya-tanya. Khawatirku: ia sakit lagi. Panggil Saya, Jr é ng! Teringat kembali. Saat awal jumpa. Ia menungguku keluar dari mushola. Di teras, ia menyapa: “ Pak Amien, njih ?” “ Injih. Njenengan sinten ?” tanyaku sepontan. “Jr é ng!” jawabnya. “ Sinten ?” tanyaku cepat. Antara bingung dan tidak percaya. “Orang-orang memanggilku Jr é ng” jawabnya. Lalu ia menyebutkan dua atau tiga kata nama aslinya. Yang hingga saat ini saya lupa. Mungkin. Karena memoriku lebih terbetot pada kata “Jr é ng”. Yang kesan pertamanya begitu menggoda. Selanjutnya… Ia kuminta ke rumahku. Di sebelah mushola. Agar enak ngobrolnya.   Wong Deso , Pekerja Keras Diam-diam kuamati raut wajahnya. Khas orang desa. Umur di atas lima puluh limaan. Kulit agak gelap. Dan sisa-sisa pekerja keras tampak jelas di otot tangannya. Kupastikan ak